Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Kamis, 30 September 2010

Pertumbuhan dan Kemiskinan

SANGGUPKAH PERTUMBUHAN EKONOMI MEMPERBAIKI
KETIMPANGAN DAN MEREDUKSI KEMISKINAN?

Agussalim


Abstract

A questions that encouraged a sharply debate in the decades was “did the economic growth shrink inequality and poverty alleviation?” This papers will endeavor to investigate and make review on number of empirical study’s finding that relate to economic growth, inequality, and poverty. The studies concluded that the economic growth can alleviate the poverty but shrink the inequality. In addition, for some cases economic growth show a positive correlation to inequality, while the others cases economic growth show has no correlation to inequality. Large divergences between growth and income distribution improvements may arise when growth is volatile and unsustained. Growth accompanied with progressive distributional changes will have a greater impact to reducing poverty than growth that leaves the distribution unchanged.

Key words: economic growth, inequality, poverty.


1. Pendahuluan

Lebih dari empat dekade terakhir, debat mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi (economic growth), ketimpangan (inequality), dan kemiskinan (poverty) terus berlangsung. Pertanyaan yang kerapkali memicu debat, antara lain: betulkah pertumbuhan ekonomi sanggup memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan dan mereduksi kemiskinan; apakah pertumbuhan ekonomi dapat memberi manfaat secara luas bagi seluruh kelompok dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin; adakah korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup masyarakat; apakah terjadi trade-off antara strategi yang pro-pertumbuhan (pro-growth) dengan pro-kemiskinan (pro-poor); apakah kebijakan yang pro-pertumbuhan juga dapat diharapkan menjadi kebijakan terbaik bagi pengurangan kemiskinan; dan seterusnya.

Fakta menarik yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam World Development Report 2003, telah memicu debat menjadi kian ekstensif. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa di berbagai belahan dunia, sejumlah negara telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten dalam satu-dua dekade. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak serta merta mereduksi kemiskinan. Kesenjangan distribusi pendapatan bahkan tetap tak terkoreksi. Disebutkan bahwa sedikitnya 3 (tiga) milyar penduduk bumi masih berada dalam kemiskinan (hanya memperoleh pendapatan kurang dari US$ 2 per hari). Oleh beberapa kalangan, fakta ini setidaknya dimaknai sebagai bentuk divergensi antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup dan distribusi pendapatan.

Berangkat dari debat dan fakta di atas, tulisan ini mencoba melakukan review atas berbagai hasil studi empiris yang telah dilakukan sebelumnya, baik yang bersifat lintas negara (cross-countries) maupun studi kasus (case-studies). Perkembangan dan keragaman hasil studi empiris yang dibahas dalam tulisan ini, diharapkan dapat membantu untuk memahami, bukan hanya pola relasi antara pertumbuhan, ketimpangan, dan kemiskinan, tetapi juga sejauh mana pertumbuhan ekonomi sanggup memperbaiki ketimpangan dan mereduksi kemiskinan di negara-negara berkembang (developing countries).

2. Pertumbuhan dan Ketimpangan

Nampaknya tidak ada yang meragukan keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan. Namun terdapat berbagai macam pandangan mengenai pola keterkaitan tersebut. Sebagian ekonom memandang bahwa hubungan antara keduanya merupakan hubungan kausal secara timbal balik: ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan, dan sebaliknya, pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan (Kaldor, 1960; Jha, 1999; Barro, 2000; Svedberg, 2002; dan Bourguignon, 2004).

Galor dan Zeira (1993), Alesina dan Rodrik (1994), Persson dan Tabellini (1994), Benabou (1996), Perotti (1996), Aghion dan Howitt (1997), Li dan Zou (1998), Forbes (2000), Afranca et. al. (2000), Banerjee dan Duflo (2000), dan Pardo-Beltran (2002), lebih mendukung pandangan yang mengatakan bahwa distribusi pendapatan-lah yang mempengaruhi pertumbuhan. Landasan teorinya adalah: distribusi pendapatan yang timpang akan berpengaruh terhadap jumlah investasi, baik fisik maupun manusia, dan selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Alesina dan Rodrik, Persson dan Tabellini, Benabou, dan Perotti menemukan bahwa pengaruh ketimpangan terhadap pertumbuhan adalah negatif. Hasil ini berbeda dengan penemuan Aghion dan Howitt, Li dan Zou, dan Forbes, yang justru menemukan pengaruh yang positif. Aghion dan Howitt misalnya, telah mengestimasi pengaruh ketimpangan terhadap pertumbuhan dan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara keduanya. Artinya, semakin tinggi ketimpangan, semakin besar kontribusinya terhadap pertumbuhan.

Namun sebagian besar ekonom justru berpandangan sebaliknya. Mereka lebih percaya bahwa pertumbuhan ekonomi-lah yang menciptakan ketimpangan (Kuznets, 1955; Ravallion, 1995; Deininger dan Squire, 1996; Schultz, 1998; Bruno, Ravallion dan Squire, 1998; Dollar dan Kraay, 2001 dan 2002; Son dan Kakwani, 2003; dan Adams, 2004). Argumentasi teoritisnya adalah: pertumbuhan ekonomi menyebabkan setiap kelompok dalam masyarakat memperoleh keuntungan, namun kelompok yang menguasai faktor produksi dan modal biasanya mendapatkan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya (para buruh).

Jika ditelusuri kebelakang, debat mengenai hubungan antara pertumbuhan dan ketimpangan, awalnya dipicu oleh sebuah hipotesis yang dikemukakan oleh Kuznets (1955) - dikenal dengan Kuznets Hypothesis -, yang menyatakan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan seperti U-shaped terbalik: pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negara tersebut mencapai status berpendapatan menengah (middle-income). Namun sesudah fase tersebut, distribusi pendapatan akan terus membaik atau ketimpangan akan terus menurun. Implikasi lain dari temuan ini, menurut Adams (2003), adalah bahwa pada tahap awal proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan butuh waktu beberapa tahun untuk menjadi berkurang di negara-negara berkembang.

Hipotesis Kuznets di atas didasarkan pada data cross-sectional dengan mengobservasi sejumlah negara dengan tahap pembangunan yang bervariasi. Tentu saja, penggunaan jenis data seperti ini dianggap memiliki kelemahan, sebab bagaimanapun, tujuan untuk memahami dampak pertumbuhan terhadap ketimpangan lebih dimungkinkan jika menggunakan data time-series, karena dapat menunjukkan perubahan ketimpangan dalam suatu negara akibat pertumbuhan dari waktu ke waktu. Dalam dekade terakhir, dengan menggunakan data time-series telah dilakukan beberapa studi empiris, diantaranya Ravallion (1995), Deininger dan Squire (1996), Schultz (1998), dan Bruno, Ravallion dan Squire (1998). Temuan empiris semua studi tersebut cenderung menolak Hipotesis Kuznets. Ravallion misalnya, mengatakan bahwa:

“The rejection of the inverted U hypothesis (of the Kuznets curve) could not be more convincing... The data do not suggest that growth tends to either increase or decrease inequality”.

Saat ini, kebanyakan para ekonom berpikir bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai dampak besar terhadap perbaikan ketimpangan, karena distribusi pendapatan secara umum tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Menurut Deininger dan Squire (1996), Gross Domestic Product (GDP) per kapita meningkat 26% di negara-negara berkembang antara tahun 1985-1995, namun koefisien Gini hanya berubah 0,28% per tahun selama periode tersebut. Sebagai misal, di Taiwan pendapatan per kapita riil meningkat lima kali lipat antara tahun 1964-1990, akan tetapi koefisien Gini hanya mengalami penurunan yang relatif kecil, yaitu dari 32,2 ke 30,1.

Hasil studi Ravallion dan Chen (1997) terhadap 67 negara berkembang dan transisi, cenderung mendukung temuan Deininger dan Squire (1996). Dengan menggunakan data survey rumah tangga selama periode 1981-1994, ia menemukan bahwa perubahan ketimpangan tidak memiliki kaitan dengan perubahan standar hidup rata-rata. Bahkan pertumbuhan seringkali justru memperburuk distribusi pendapatan.

Beberapa studi kasus (case studies) juga menunjukkan gejala yang sama bahwa distribusi pendapatan tidak banyak mengalami perubahan meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi selama periode analisis. Kasus Brazil seringkali dijadikan sebagai illustrasi yang baik. Menurut studi yang dilakukan oleh Ferreira dan Barros (1998), ketimpangan di Brazil tidak berubah antara tahun 1976 dan 1996, meskipun pendapatan per kapita secara keseluruhan meningkat beberapa persen. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi di Brazil tidak mempunyai dampak terhadap perbaikan distribusi pendapatan.

Apa yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam World Development Indicators 1998 (dikutip dalam Todaro, 2003), sebagian cenderung mendukung temuan di atas. Dalam laporan tersebut nampak agak sulit untuk menarik kesimpulan apakah pertumbuhan ekonomi dapat memperbaiki distribusi pendapatan, setidaknya dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade (1965-1996). Di Amerika Latin dan di Afrika misalnya, pertumbuhan nampak berjalan beriringan dengan perbaikan distribusi pendapatan: pertumbuhan nampak meningkat dan koefisien Gini cenderung menurun. Namun, gambaran tersebut tidak berlangsung di Asia Timur. Meskipun pertumbuhan di Asia Timur nampak mengalami peningkatan yang amat signifikan (rata-rata di atas 5% per tahun), akan tetapi ketimpangan justru kian membesar (ditunjukkan oleh koefisien Gini yang semakin meningkat).

Hasil serupa juga ditunjukkan oleh Cornia dan Kiiski (2001) yang mengamati kecenderungan distribusi pendapatan sesudah Perang Dunia Kedua, atau dari tahun 1960-an sampai dengan tahun 1990-an. Dari 73 negara yang diamati (17 negara maju, 34 negara berkembang, dan 22 negara transisi), 48 negara diantaranya (dua pertiga dari populasi) mengalami ketimpangan yang semakin meningkat. Ini cukup menarik, sebab fenomena ini justru terjadi di negara-negara maju (12 dari 17 negara yang diamati) dan di negara-negara transisi (21 dari 22 negara yang diamati). Terdapat 16 negara yang menunjukkan ketimpangan yang relatif konstan, namun beberapa negara diantaranya, seperti Brasil, India, Banglades, dan Indonesia menunjukkan kenaikan ketimpangan dalam 2-3 tahun terakhir periode pengamatan. Hanya 9 negara yang mencatat adanya perbaikan dalam distribusi pendapatan. Ini sebagian besar terjadi di negara-negara kecil (small nations) seperti Honduras, Jamaika, Tunisia, Norwegia, dan negara-negara berukuran sedang (medium-sized nations) seperti Perancis, Korea Selatan, dan Malaysia. Salah satu temuan penting studi ini adalah bahwa ketimpangan yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan, dan bahkan dapat memberikan dampak buruk bagi kehidupan sosial dan politik.

Dibandingkan dengan berbagai temuan di atas, beberapa ekonom bahkan memiliki pandangan yang lebih ekstrim, bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung menaikkan ketimpangan pendapatan (dan asset), dan pada tingkat ketimpangan yang lebih tinggi, hampir dapat dipastikan bahwa pertumbuhan hanya akan memberi manfaat bagi kaum kaya daripada kaum miskin. Forsyth (2000) misalnya, dengan lugas menulis:

“there is plenty of evidence that current patterns of (economic) growth and globalization are widening income disparities and thus acting as brake on poverty reduction”.

Jika argumentasi ini benar, maka cara terbaik untuk mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang adalah dengan pertama kali memperbaiki atau memperkecil ketimpangan pendapatan dan asset.

Namun, studi yang dilakukan oleh Ravallion dan Datt (2000) di India justru menunjukkan hasil yang agak berbeda. Dengan menggunakan logaritma (log) produk domestik riil per kapita sebagai proksi dari pendapatan per kapita dan indeks Gini dari konsumsi per orang (dalam persen) sebagai proksi dari tingkat ketimpangan, mereka menunjukkan bahwa selama periode 1950-an hingga 1990-an, pendapatan rata-rata per kapita meningkat dan tingkat ketimpangan memperlihatkan trend yang menurun. Demikian pula hasil studi Ranis et al. (1977) di Cina juga menunjukkan adanya suatu korelasi negatif antara pendapatan dan ketimpangan: ketimpangan menurun jika pendapatan meningkat.

Sebuah analisis lengkap yang dilakukan oleh Banerjee dan Duflo (2001), juga menemukan adanya hubungan antara ketimpangan dan pertumbuhan di banyak negara, meskipun bersifat non-linear. Chen (2003) dengan menggunakan data lintas negara, juga menemukan terjadinya U-shaped terbalik hubungan antara distribusi pendapatan dan pertumbuhan dalam jangka panjang, meskipun tidak dalam jangka pendek.

Untuk kasus Indonesia, hasil studi Deininger dan Squire (1996) yang menyajikan estimasi koefisien Gini dari berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, juga menarik untuk diamati. Secara parsial, hasil studi tersebut memberi indikasi bahwa hipotesis U-shaped terbalik dari Kuznets berlaku untuk kasus Indonesia. Pada tahun 1970-an misalnya, tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia relatif rendah (0,31), tahun 1980-an tinggi (0,36), dan kemudian tahun 1990-an kembali rendah (0,32), padahal laju pertumbuhan meningkat secara konsisten selama periode tersebut.

Berbagai fakta empiris di atas menunjukkan bahwa pada beberapa kasus, memang kerapkali pertumbuhan dan perbaikan distribusi pendapatan bergandengan tangan. Namun pada sejumlah kasus lainnya, tidaklah demikian. Divergensi yang besar antara pertumbuhan dan perbaikan distribusi pendapatan timbul bila pertumbuhan bersifat volatil dan tidak berkesinambungan.

3. Pertumbuhan dan Kemiskinan

Dari berbagai studi empiris yang telah dilakukan, nampaknya terdapat hasil yang beragam mengenai dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan. Secara garis besar, hasil tersebut dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:

Pertama, di masa lalu, beberapa ekonom menganggap bahwa pertumbuhan tidak cukup menurunkan kemiskinan di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, Chenery and Ahluwalia. (1974) mengatakan:

“It is now clear that more than a decade of rapid growth in underdeveloped countries has been of little or no benefit to perhaps a third of their population”.

Demikian pula, Adelman dan Morris (1973) mengatakan bahwa:

“Development is accompanied by an absolute as well as a relative decline in the average income of the very poor... The frightening implication (of this) is that hundreds of millions of desperately poor people... have been hurt rather than helped by economic development”.

Kedua, Ravallion (1997), Son dan Kakwani (2003), dan Bourguignon (2004) melakukan review hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan dan ketimpangan, dan mencatat bahwa dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan hanya terjadi ketika ketimpangan relatif tinggi (high inequality). Dengan kata lain, negara-negara yang mempunyai tingkat ketimpangan yang sedang, apalagi rendah, dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan relatif tidak signifikan. Hasil ini dapat pula diintrepretasi bahwa untuk tingkat pertumbuhan berapapun, semakin turun ketimpangan, semakin besar terjadinya penurunan dalam kemiskinan.

Namun ketika ketimpangan pendapatan cenderung tetap stabil sepanjang waktu, pertumbuhan tetap diharapkan dapat mengurangi kemiskinan, setidaknya sampai pada taraf tertentu. Bagaimana pertumbuhan secara aktual mengurangi kemiskinan, menurut Adams (2003), sedikitnya tergantung pada 2 (dua) faktor, yaitu: pertama, tingkat pertumbuhan itu sendiri. Dengan menggunakan garis kemiskinan internasional US$ 1 per orang per hari, Squire (1993) melakukan studi ekonometrik dengan meregresi antara tingkat penurunan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan. Hasilnya, jika terjadi kenaikan 1% dalam pertumbuhan, akan mengurangi kemiskinan 0,24%. Bruno, Ravallion, dan Squire (1998) juga melakukan studi ekonometrik serupa terhadap 20 negara berkembang selama periode 1984-1993, dengan meregresi antara tingkat proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (US$ 1 per orang per hari) dengan tingkat pertumbuhan (perubahan pendapatan rata-rata). Hasilnya, signifikan secara statistik dengan koefisien regresi -2,12. Artinya, jika terjadi kenaikan pertumbuhan sebesar 1%, maka proporsi penduduk miskin akan menurun sebesar 2,12%. Kedua, tingkat ketimpangan. Dengan statistik secara langsung, pertumbuhan dapat diharapkan menurunkan kemiskinan jika ketimpangan turun, dibanding jika sebaliknya. Ekspektasi ini dipertegas oleh studi yang dilakukan oleh Bruno, Ravallion dan Squire (1998). Mereka meregresi tingkat perubahan kemiskinan terhadap perubahan pertumbuhan dan perubahan ketimpangan (diukur dengan koefisien Gini) di 20 negara berkembang. Mereka memperoleh koefisien regresi yang signifikan secara statistik, yaitu -2,28 untuk variabel pertumbuhan dan 3,86 untuk variabel ketimpangan. Artinya, perubahan yang kecil pada ketimpangan distribusi pendapatan, dapat mendorong kearah perubahan yang cukup besar timbulnya kemiskinan. Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan berapapun, semakin turun ketimpangan, semakin besar terjadinya penurunan dalam kemiskinan.

Temuan di atas juga dipertegas oleh hasil studi Bourguignon (2004). Dengan membandingkan antara negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi (middle income country with high inequality) dan negara-negara berpendapatan rendah dengan tingkat ketimpangan yang sedang (low income country with middle inequality) — namun masing-masing memiliki tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang sama, yaitu rata-rata 3% per tahun — ia menemukan fakta bahwa penurunan angka kemiskinan ternyata lebih cepat terjadi di negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat ketimpangan yang tinggi daripada di negara-negara berpendapatan rendah dengan tingkat ketimpangan yang sedang.

Atas temuan itulah, Bourguignon (2004) selanjutnya menyatakan bahwa strategi pembangunan untuk menurunkan kemiskinan terletak pada hubungan antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan, dan bukan pada hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan ataupun antara kemiskinan dan ketimpangan. Melalui konsep “Poverty-Growth-Inequality (PGI) Triangle” yang diperkenalkannya, Bourguignon (2004) merekomendasikan sedikitnya dua strategi untuk mengentaskan kemiskinan: (i) mendorong pertumbuhan tingkat pendapatan aggregat; dan (ii) melakukan perbaikan distribusi pendapatan secara progressif.

Ketiga, pertumbuhan mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Dollar dan Kraay (2002) dengan menggunakan data dari 80 negara berkembang selama kurun waktu 40 tahun, menyimpulkan bahwa “growth is good for the poor”. Mereka mengklaim bahwa:

“(since) average incomes of the poorest fifth of society rise proportionately with average incomes... (economic) growth generally does benefit the poor as much as every one else”.

Lebih jauh Dollar dan Kraay (2002) mengatakan bahwa pertumbuhan akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar bagi si-miskin jika pertumbuhan tersebut disertai dengan berbagai kebijakan seperti penegakan hukum, disiplin fiskal, keterbukaan dalam perdagangan internasional, dan strategi pengentasan kemiskinan. Pendapat ini nampaknya mempertegas pendapat Bigsten dan Levin (2000) sebelumnya yang menyatakan bahwa negara-negara yang berhasil dalam pertumbuhan kemungkinan besar juga akan berhasil dalam menurunkan kemiskinan, apalagi jika terdapat dukungan kebijakan dan lingkungan kelembagaan (institutional environment) yang tepat.

Studi terbaru mengenai hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan dilakukan oleh Adams (2003). Dengan menggunakan data-data terbaru dari 50 negara berpendapatan rendah dan menengah rendah (low income and lower-middle income countries) yang terdiri atas 13 negara di Afrika Sub-Sahara, 4 negara di Asia Timur, 12 negara di Eropa dan Asia Tengah, 10 negara di Amerika Latin, 5 negara di Asia Tenggara, 6 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, Adams melakukan pengujian dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan. Ia menemukan fakta bahwa pertumbuhan secara meyakinkan dapat mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang. Ketika pertumbuhan diukur berdasarkan pendapatan rata-rata (konsumsi), terdapat hubungan yang kuat secara statistik antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan. Elastisitas kemiskinan dalam kaitannya dengan pertumbuhan mencatat angka -2,59. Artinya, secara rata-rata, jika pertumbuhan meningkat sebesar 1%, maka akan mengakibatkan penurunan 2,59% proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan (US$1 per orang per hari). Bahkan ketika pertumbuhan diukur berdasarkan GDP per kapita, juga masih menunjukkan hubungan (meski tidak kuat) secara statistik antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan.

Sejumlah studi kasus di berbagai negara juga memperlihatkan hasil serupa. Studi yang dilakukan oleh Wodon (1999) di Bangladesh, dengan memakai data panel regional dengan 14 wilayah geografis dan lima titik waktu antara tahun 1983 sampai 1996, menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Begitu pula studi Demombynes dan Hoogeveen (2004) di Tanzania, juga menemukan bahwa pertumbuhan GDP per kapita yang relatif cepat selama periode 1992-2001, signifikan secara statistik menurunkan kemiskinan. Danielson (2002) di Jamaika, juga menemukan bahwa pertumbuhan per kapita yang berlangsung selama 1988-1998 mempunyai dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan. Ini dimungkinkan, menurut Danielson, sebab selama periode tersebut tidak terjadi peningkatan yang besar dalam ketimpangan.

Dari gambaran di atas, nampak jelas bahwa meskipun terdapat beberapa hasil studi yang meragukan dampak positif pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan, namun beberapa studi terbaru dengan cakupan negara yang lebih luas dan rentang waktu data yang lebih panjang, menunjukkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan di negara-negara berkembang.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:

Pertama, nampaknya tidak ada yang meragukan pentingnya pertumbuhan bagi penurunan kemiskinan. Negara-negara yang secara historis mengalami pertumbuhan yang berlangsung dalam rentang waktu atau periode yang panjang, nampaknya juga mengalami penurunan kemiskinan yang relatif besar. Konsep kemiskinan yang digunakan dalam temuan ini adalah: (i) proporsi penduduk miskin terhadap total populasi, biasanya klas pendapatan terendah dalam populasi (Dollar dan Kraay, 2002; Foster dan Szekely, 2000); (ii) kemiskinan absolut yang diukur berdasarkan tingkat pendapatan, misalnya US$ 1 per orang per hari (Adams, 2003); dan (iii) garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan biaya hidup minimum (Ravallion dan Chen, 1997).

Kedua, perubahan distribusional secara progressif akan berdampak positif bagi penurunan kemiskinan. Sulit untuk membantah bahwa pengurangan kemiskinan dapat dicapai melalui kebijakan redistributif (redistributive policies) meskipun tanpa adanya pertumbuhan. Namun pertumbuhan yang disertai dengan perubahan distribusional yang progresif akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan dengan pertumbuhan tanpa perubahan distribusional. Ravallion (1997), Bourguignon (2004), dan Son dan Kakwani (2003) yang mereview hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan, dan kemiskinan, mencatat bahwa dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan hanya terjadi ketika ketimpangan relatif tinggi (high inequality). Hasil ini dapat pula diintrepretasi bahwa untuk tingkat pertumbuhan berapapun, semakin turun ketimpangan, semakin besar terjadinya penurunan dalam kemiskinan.

Ketiga, tidak ada bukti kuat secara empiris yang menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pertumbuhan berjalan paralel dengan perbaikan distribusi pendapatan. Dollar dan Kraay (2002) menemukan bahwa, secara rata-rata, pendapatan masyarakat paling miskin (klas kelima dalam populasi) meningkat secara proporsional dengan pendapatan rata-rata. Namun studi lainnya menunjukkan bahwa perubahan dalam pendapatan dan perubahan dalam ketimpangan sama sekali tidak memiliki kaitan, seperti dikemukakan oleh Deininger dan Squire (1996), Ravallion dan Chen (1997), dan Easterly (1999). Menurut mereka, pertumbuhan adalah baik bagi si-miskin, atau setidaknya baik bagi setiap orang yang ada dalam masyarakat.

Keempat, dalam tahun-tahun terakhir, penelitian maupun debat lebih fokus pada seberapa besar manfaat yang diperoleh kaum miskin dari pertumbuhan ekonomi (Ravallion 1998 dan 2001, Ravallion dan Chen 1997, Ravallion dan Datt 2000, dan Quah, 2001). Pada satu titik ekstrim, dinyatakan bahwa manfaat potensial pertumbuhan terhadap kaum miskin berkurang akibat kebijakan distributif yang tidak adil dan peningkatan ketimpangan yang menyertai pertumbuhan tersebut. Pada titik ekstrim yang lain, dikatakan bahwa meskipun ketimpangan meningkat akibat kebijakan ekonomi yang liberal dan pasar yang kian terbuka, namun pendapatan setiap orang dalam masyarakat, termasuk yang miskin, menunjukkan peningkatan, dan bahkan secara proporsional mengurangi timbulnya kemiskinan (Heshmati, 2004).

Kelima, secara pragmatis, beragamnya temuan empiris semua studi di atas telah menimbulkan kesulitan tersendiri dalam merumuskan program dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang tepat dan efektif. Hingga saat ini, kebijakan dan program anti-kemiskinan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi donor (Bank Dunia, USAID, DFID) di negara-negara berkembang, lebih fokus pada upaya mendorong pertumbuhan ekonomi secara luas (broad-based economic growth), daripada mengatasi ketimpangan pendapatan dan asset (Adams, 2003). Ini memberi indikasi bahwa organisasi-organisasi donor masih meyakini keampuhan pertumbuhan ekonomi untuk mereduksi kemiskinan di negara-negara berkembang. Tentu saja, keyakinan ini tidak sepenuhnya benar, apalagi jika kita merujuk pada berbagai hasil studi terbaru yang justru menekankan perlunya melakukan perubahan distribusional secara progresif untuk mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang.

Daftar Bacaan

Adams, Richard H. Jr, 2003. Economic Growth, Inequality, and Poverty: Finding from a New Data Set, Policy Research Working Paper #2972, World Bank, February.
Adelman, Irma, 1975. Growth, Income Distribution, and Equity-Oriented Development Strategies, World Development 3 (2 and 3): 67-76.
Adelman, Irma and Cynthia T. Morris, 1973. Economic Growth and Social Equity in Developing Countries, Stanford University Press.
Aghion, P. and P. Howitt, 1997. Endogenous Growth Theory, The MIT Press. Cambridge, Mass.
Agussalim, 2005. The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pembangunan, Majalah Simpul Perencana, Pusbindiklatren BAPPENAS, ISSN 1656-4229, Volume 5, Tahun 3, Juni 2005, Hal. 28-32.
Agussalim, 2003. KTI, Konsepsi Pembangunan, dan Upaya Pencerahan. Makalah yang Disampaikan pada One Day Seminar “Marketing Places: A New Approach for Sustainable Development in Era of Regional Autonomy”, Dilaksanakan oleh Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Sulsel, Hotel Sahid Jaya Makassar, 12 April.
Ahluwalia, M. S., 1976. Inequality, Poverty, and Development, Journal of Development Economics 3(4).
Alesina, A. and D. Rodrik, 1994. Distributive Policies and Economic Growth, Quarterly Journal of Economics 109.
Alfranca, Oscar et al., 2000. Economic Growth and Income Distribution in the OECD Countries, Retrieved October 20, 2004 from http://rru.worldbank.org/PaperLinks/
Anand, Sudhir and Ravi Kanbur, 1993. Inequality and Development: A Critique, Journal of Development Economics 41(1): 19-43.
Barro, R., 2000. Inequality and Growth in a Panel of Countries, Journal of Economic Growth 5: 5-32.
Benabou, Roland, 1996. Inequality and Growth, In B. Bernake and J. Rotemberg, NBER Macroeconomics Annual, Cambridge, MIT Press 11-74.
Benerjee, A. and E. Duflo, 2001. Inequality and Growth: What Can the Data Say?, Paper presented at the WIDER Conference on Growth and Poverty, Helsinki, 25-26 May.
Bigsten, Arne and Jorgen Levin, 2000. Growth, Income Distribution, and Poverty: A Review, Working Paper in Economics No. 32. Departement of Economics, Goteborg University.
Bourguignon, Francois, 2004. Poverty-Growth-Inequality Triangle, Paper was presented at the Indian Council for Research on International Economic Relations, New Delhi, on February 4, 2004.
Bourguignon, F. and C. Morrison, 1990. Income Distribution, Development and Foreign Trade: A Cross Section Analysis, European Economic Review 34.
Bruno, M., M. Ravallion, and L. Squire, 1998. Equity and Growth in Developing Countries: Old and New Pespective on the Policy Issues, In Vito Tani and Ke-Young Chu (Eds), Income Distribution and High Growth, Cambridge, MA, MIT Press.
Chen, B-L., 2003. An Inverted-U Relationship Between Inequality and Long-Run Growth, Economics Letters 78: 205-212.
Chenery, Hollis and Ahluwalia, 1974. Redistribution with Growth, Published for the World Bank and the Institute of Development Studies, Sussex, Oxford U.P.
Cornia, Giovanni A. and Sampsa Kiiski, 2001. Trends in Income Dsitribution in the Post-World War II Period: Evidence and Intrepretation, WIDER Discussion Paper No. 89, UNU/WIDER: Helsinki.
Danida, 2000. Poverty Patters of Economics Growth and Income Distribution, Review of the Issues, Retrieved from internet October 20, 2004.
Danielson, Anders, 2002. Poverty, Inequality, and Growth in Jamaica, 1988-1998, and Beyond, Paper was presented at the IIIrd CEISEL conference, Amsterdam, July 3-7, 2002.
Deininger, Klaus and Lyn Squire, 1996. A New Data Set Measuring Income Inequality, World Bank Economic Review 10(3): 565-91.
Demombynes, Gabriel and Johannes G. Hoogeveen, 2004. Growth, Inequality and Simulated Poverty Paths for Tanzania, 1992-2002, The World Bank, Policy Research Working Paper #3432, October.
Dollar, David and Aart Kraay, 2002. Growth is Good for the Poor, Journal of Economic Growth 7(3): 195-225.
Easterly, W, 1999. Life during Growth, Journal of Economic Growth 4: 239-276.
Ferreira, Francisco and Ricardo Paes de Barros, 1998. Climbing a Moving Mountain: Explaining the Decline of Income Inequality in Brazil from 1976 to 1996, Inter-American Development Bank, Washington, D.C.
Forbes, Kristin J., 2000. A Reassessment of the Relationship Between Inequality and Growth, American Economic Review 40(4): 869-887.
Forsyth, Justin, 2000. Letter to the Editor, The Economics, June 20, p. 6.
Foster, J. and M. Szekely, 2000. How Good is Growth, Asian Development Review 18: 59-73.
Galor, Oded and J. Zeira, 1993. Income Distribution and Macroeconomics, Review of Economic Studies 60: 35-52.
Heshmati, Almas. 2004. Growth, Inequality and Poverty Relationship, Discussion Paper Series. IZA DP No. 1338, Institute for the Study of Labor, October.
Jha, Sailesh, 1999. Fiscal Policy, Income Distribution and Growth, Economic & Development Resources Center No.67, ADB.
Kaldor, N, 1960. Essays on Economics Stability and Growth, Economic Journal: 258-300.
Kraay, Aart, 2004. When Is Growth Pro-Poor? Evidence from a Panel of Countries, The World Bank, Washington DC., December.
Kuznets, Simon, 1955. Economic Growth and Income Inequality, American Economic Review 45(1): 1-28, March.
Li H. and H. Zou, 1998. Income Inequality is not Harmful for Growth: Theory and Evidence, Review of Development Economics, 2(3).
Lopez, J. Humberto, 2004. Pro-Growth, Pro-Poor: Is There a Tradeoff?, The World Bank, Policy Research Working Paper #3378.
Pardo-Beltran, 2002. Effects of Income Distribution and Growth, Center for Economics Policy Analysis Working Paper No.16.
Perotti, R., 1996. Growth, Income Distribution and Democracy: What the Data Say, Journal of Economic Growth 1(3): 149-187.
Persson, T. and G. Tabellini, 1994. Is Inequality Harmful for Growth?, American Economic Review 84(3): 600-621.
Quah, D., 2001. Some Simple Arithmetic on How Income Inequality and Economic Growth Matter, Paper presented at WIDER conference om Growth and Poverty, 25-26 May 2001, Helsinki.
Ranis, G. et. al., 1977. Growth and the Family Distribution of Income by Factor Components, Quarterly Journal of Economics, February.
Ravallion, Martin, 1995. Growth and Poverty: Evidence for Developing Countries in the 1980s, Economics Letters 48: 411-417.
Ravallion, M and S. Chen, 1997. What Can New Survey Data Tell us about Recent Changes in Distribution and Poverty?, The World Bank Economic Review 11: 357-382.
Ravallion, Martin, 1998. Does Aggregation Hide the Harmful Effects of Inequality on Growth?, Economics Letter 61: 73-77.
Ravallion, M. and G. Datt., 2000. When Growth is Pro-Poor? Evidence from the Diverse Experience of Indian States, The World Bank, Policy Research Working Paper #2263.
Ravallion, Martin, 2001. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond the Averages, World Bank Policy Research Working Paper #2558, World Bank, Januari.
Schultz, T. Paul, 1998. Inequality in the Distribution of Personal Income in the World: How Is It Changing and Why?, Journal of Population Economic, Vol. 11, No. 3 (June): 307-344.
Sen, Amartya, 1988. The Concept of Development, dalam Chenery and Srinivasan, eds., Handbook of Development Economics, Vol. 1, New York: Elsevier Scince Publishers.
Son, H. and N. Kakwani, 2003. Poverty Reduction: Do Initials Conditions Matter?, Mimeo, The World Bank.
Svedberg, Peter, 2002. Lecture 7: Income Distribution and Growth: The Two-Way Relationship, Retrieved October 20, 2004 from http://rru.worldbank.org/ PaperLinks/.
Thomas, Vinod et. al., 2000. The Quality of Growth, The World Bank, Washington D.C.
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, 2003. Economic Development, Eighth Edition, The Addison-Wesley.
Wodon, Quentin T., 1999. Growth, Poverty, and Inequality: A Regional Panel for Bangladesh, The World Bank, Policy Reasearch Working Paper #2070, March.
World Bank, 2001. Indonesia: Constructing a New Strategy for Poverty Reduction, Report No. 23028-IND, October.
World Bank, 2003. Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, and Quality of Life, World Development Report 2003, Oxford University Press.

Rabu, 01 September 2010

Investasi Daerah

PENGEMBANGAN INVESTASI DAERAH:
Agenda Pemerintah Daerah

Agussalim


Abstrak



Investasi daerah merupakan salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi pembangunan daerah. Namun untuk merangsang investasi dibutuhkan agenda-agenda yang jelas dan komprehensif yang secara internal dikreasikan sendiri oleh pemerintah daerah. Agenda-agenda dimaksud, antara lain: (i) merumuskan kebijakan investasi; (ii) memperbaiki peraturan dan regulasi; dan (iii) memperbaiki dukungan dan pelayanan birokrasi; (iv) mengembangkan promosi daerah; (v) mengembangkan kemitraan; (vi) mengembangkan regional management; (vii) mengembangan business networking; dan (viii) mempertajam strategi belanja publik.

Keywords: local investment, local government agenda.


1. Pendahuluan

Secara normatif, investasi daerah (local investment) dipahami sebagai salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi pembangunan daerah. Tak terkecuali di kalangan pemerintah daerah, timbul semacam kesadaran - terlebih sesudah implementasi desentralisasi dan otonomi daerah - bahwa akselerasi pembangunan hanya dimungkinkan jika terdapat arus investasi yang signifikan. Persepsi yang kuat tentang pentingnya investasi telah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai upaya, mulai dari promosi investasi yang gencar hingga kunjungan pejabat daerah keluar negeri.

Namun secara umum, antusiasme pemerintah daerah tersebut belum sepenuhnya dibarengi dengan agenda-agenda yang jelas dan komprehensif yang secara internal dikreasikan sendiri oleh pemerintah daerah. Perumusan kebijakan investasi, penyempurnaan peraturan dan regulasi, penyusunan master-plan investasi, pengembangan sistem informasi investasi, pelayanan one-roof system atau one-stop shop, pengembangan partnership, belum dikembangkan secara optimal oleh pemerintah daerah. Nampak jelas bahwa pemerintah daerah belum sepenuhnya mengalami reorientasi peran, dari peran tradisional menuju peran kewiraswastaan.

2. Masalah dan Tantangan

Secara umum, iklim investasi di Indonesia, dihadapkan tidak saja pada tantangan untuk menarik investasi baru, tetapi juga tantangan untuk mempertahankan investasi yang sudah ada. Kepindahan - sebagian lainnya masih tahap rencana - beberapa perusahaan multi-nasional menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia sudah berada pada tahap yang cukup mengkhawatirkan.

Kedepan, diperkirakan tantangan tersebut akan kian berat, bukan hanya karena lingkungan eksternal yang semakin ketat, akan tetapi juga karena daya tarik domestik yang masih relatif rendah. Secara eksternal, tantangan dimaksud, antara lain (Bappenas, 2003):

Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) menurun akibat meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa aman dalam kegiatan penanaman modal, kemungkinan terjadinya berbagai spekulasi dalam proses merger dan akuisisi perusahaan, serta masalah-masalah kelembagaan seperti kelambatan proses privatisasi di beberapa negara.

Kedua, dari arus masuk PMA yang cenderung menurun tersebut, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu saja. RRC diperkirakan tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia karena didukung oleh pertumbuhan pasar dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, dan ketersediaan tenaga kerja yang memadai.

Sedangkan secara internal, sejumlah faktor yang dinilai menghambat investasi di Indonesia, antara lain:

Pertama, masih adanya gangguan keamanan pada beberapa wilayah yang meskipun bersifat lokal namun dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap iklim investasi nasional. Selain itu, masih maraknya aksi teror bom di berbagai wilayah juga telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor untuk menanamkan modalnya atau paling tidak menunda realisasi dari rencana investasinya.

Kedua, kurangnya kepastian hukum yang selanjutnya mengakibatkan ketidakpastian hak milik (property right) dan perjanjian usaha di Indonesia serta lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga.

Ketiga, kurang kondusifnya pasar tenaga kerja di Indonesia. Dengan produktivitas yang rendah dan upah yang sulit diperkirakan secara pasti serta ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja, daya tarik investasi di Indonesia dari sisi ketenagakerjaan menurun drastis.

Keempat, tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah, serta kesimpangsiuran pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan penyusunan kebijakan di bidang investasi, pemberian insentif, dan perijinan.

Kelima, prosedur yang panjang dan berbelit mulai dari perijinan hingga kepabeanan yang tidak saja menyebabkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan.

Keenam, kurangnya insentif investasi, khususnya insentif perpajakan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, insentif perpajakan di Indonesia relatif tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax allowances).

3. Dukungan Kebijakan Nasional

Dengan mencermati beragam masalah dan tantangan investasi di atas, maka perkembangan investasi di tahun-tahun mendatang akan sangat tergantung pada sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah tersebut melalui serangkaian kebijakan yang bersifat holistik dan lintas sektoral.

Berkaitan dengan hal tersebut, secara makro telah diterbitkan White Paper yang menguraikan mengenai peran pemerintah dalam meningkatkan iklim investasi. Peran pemerintah dimaksud adalah menciptakan suatu lingkungan yang kondusif bagi sektor swasta melalui kebijakan dan kelembagaan yang baik, yang didalamnya mencakup pemberiaan kepastian hukum, penyederhanaan proses pemberian lisensi, dan penghapusan hambatan untuk berinvestasi.

Selain itu, oleh pemerintah juga telah dikembangkan dua kebijakan dasar yaitu: (i) mempertahankan penanaman modal yang sudah ada melalui peningkatan check and balanced system yang mampu menampung keluhan dari kegiatan investasi yang ada serta menindaklanjuti secara cepat dan efektif; dan (ii) meningkatkan daya tarik perekonomian yang mampu menarik minat investor melalui penanganan aksi teror dan konflik, peningkatan kepastian hukum, penyederhanaan proses perijinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penyempurnaan sistem perpajakan termasuk prosedur kepabeanan.

Oleh departemen, kebijakan dasar ini kemudian ditindak-lanjuti dalam berbagai bentuk agenda, program, dan rencana aksi. Departemen Perindustrian misalnya, telah mengembangkan agenda-agenda yang diarahkan untuk mendorong investasi, antara lain: (i) agenda peningkatan iklim usaha yang mencakup harmonisasi tarif bea masuk produk industri, peningkatan dukungan perpajakan, dan peningkatkan ketersediaan bahan baku lokal; dan (ii) agenda peningkatan investasi yang meliputi percepatan proses perizinan di pusat dan daerah, peningkatan pemanfaatan kawasan industri, dan penyediaan insentif perpajakan bagi investasi daerah tertentu.

Dalam satu tahun terakhir, berbagai upaya pemerintahan baru untuk mereformasi iklim investasi nampak menunjukkan hasil. Dalam Laporan Doing Business in 2006 – sebuah laporan mengenai perbandingan internasional atas iklim usaha di seluruh dunia – yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada bulan September 2005 lalu, Indonesia dianggap telah menunjukkan kemajuan dalam tiga bidang: (i) perkenalan peraturan perundang-undangan kepailitan yang baru yang telah memperjelas peraturan-peraturan bagi penutupan usaha-usaha yang pailit serta penataan kembali usaha-usaha yang menjanjikan; (ii) perbaikan peraturan-peraturan yang melindungi para penanam modal; dan (iii) beberapa peraturan bagi pengembangan usaha seperti penurunan biaya untuk memulai suatu usaha. Indonesia saat ini menempati peringkat 115 dan berada dalam perempat yang ketiga, naik dari perempat paling bawah tahun lalu.

Meski demikian, reformasi iklim investasi belum sepenuhnya berjalan secara optimal akibat terkatung-katungnya pembahasan RUU Penanaman Modal. Padahal RUU tersebut sudah disusun sejak tiga tahun yang lalu, namun sampai saat ini pembahasannya masih berlangsung di tingkat eksekutif. Beberapa aspek yang masih menimbulkan perdebatan, antara lain: perlakuan yang sama (equity treatment) antara investor domestik dan investor asing,

4. Agenda Pemerintah Daerah Ke Depan

Meski investasi sangat penting bagi daerah, namun mendatangkan investasi ke daerah bukanlah pekerjaan sederhana. Bagaimanapun, investasi memiliki logikanya sendiri. Secara umum, investasi, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun pananaman modal asing (PMA), akan masuk ke suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah tersebut terhadap investasi serta adanya iklim investasi yang kondusif.

Oleh karena itu, guna meningkatkan iklim investasi dan mendorong investasi daerah, terdapat sejumlah agenda yang seyogyanya dipertimbangkan oleh pemerintah daerah untuk dikembangkan di masa depan, antara lain merumuskan kebijakan investasi, memperbaiki regulasi, menyederhanakan prosedur perijinan, mengembangkan infrastruktur, melakukan promosi daerah, mengembangkan regional management, dan lain-lain. Meski agenda-agenda tersebut bukanlah sesuatu yang baru, namun tetap menarik untuk didiskusikan mengingat bahwa selama ini agenda-agenda tersebut belum diimplementasikan secara optimal.

5. Merumuskan kebijakan investasi

Pemerintah daerah perlu merumuskan kebijakan investasi daerah, khususnya yang terkait dengan peningkatan iklim investasi. Kebijakan tersebut sebaiknya ditetapkan dengan standarisasi yang baku, dan selanjutnya dipublikasikan agar investor dapat mempelajarinya. Rumusan kebijakan investasi daerah itu penting agar daya tarik investasi daerah yang bersangkutan bisa dipelajari oleh investor.

Sedikitnya terdapat 3 (tiga) alasan mengapa suatu daerah perlu merumuskan kebijakan investasi. Pertama, semangat desentralisasi dan otonomi daerah mengharuskan pemerintah daerah untuk secara cerdas mendorong pembangunan daerahnya dan meningkatkan pendapatan daerahnya dengan cara menggali potensi daerah dan menarik investasi. Namun hal itu hanya dapat diwujudkan, sekiranya pemerintah daerah memiliki kebijakan dan perencanaan investasi yang memadai.

Kedua, terkait dengan point pertama di atas, persaingan di kalangan pemerintah daerah untuk menarik investasi seringkali menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Namun, tentu saja, hanya daerah-daerah yang secara cerdas mampu merumuskan kebijakan investasi yang akan memenangkan persaingan.

Ketiga, dengan adanya kebijakan investasi, memungkinkan pemerintah daerah untuk menyusun kerangka perencanaan dan rencana aksi yang diarahkan untuk mendorong investasi, khususnya investasi swasta, baik domestik maupun asing. Disadari sepenuhnya bahwa di tengah kian merosotnya kepercayaan dunia usaha terhadap iklim investasi di Indonesia, hanya kebijakan dan strategi investasi yang jitu yang sanggup merangsang minat investor.

Dari segi muatan, kebijakan investasi dimaksud sedikitnya memuat: (i) arah pengembangan investasi daerah; (ii) legal aspect dan kepastian investasi; (iii) pengembangan tata ruang dan kawasan investasi; (iv) hak dan kewajiban investor; (iv) pelayanan investasi; (v) insentif perpajakan, dan lain-lain.

6. Memperbaiki peraturan dan regulasi

Dalam banyak kasus, perkembangan investasi seringkali tidak digerakkan semata-mata oleh pertimbangan potensi daerah, dukungan infrastruktur, dan prospek ekonomi, akan tetapi juga ditentukan oleh peraturan dan regulasi serta pelayanan birokasi pemerintah. Regulasi yang bersifat distortif dan pelayanan birokrasi pemerintah yang buruk sangat potensial menghambat investasi.

Jika dicermati, jumlah produk hukum (dalam bentuk peraturan daerah) yang dibuat oleh pemerintah daerah saat ini relatif cukup banyak. Di satu pihak, gejala ini dianggap sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, namun di lain pihak, juga dianggap sebagai ekses atas pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Sebab sebagian besar produk hukum yang dihasilkan tersebut nampak lebih berorientasi pada upaya menarik sebanyak mungkin pungutan guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Timbul kesan, desentralisasi dan otonomi daerah dianggap sebagai bentuk legitimasi untuk meningkatkan PAD, sehingga ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sulit untuk dihindari.

Sejak desentralisasi dan otonomi daerah mulai diimplementasikan secara efektif tahun 2001, pajak daerah (regional taxes) memang telah menjadi ancaman bagi kegiatan bisnis. Ketiadaan sumber-sumber penerimaan daerah telah mendorong pemerintah daerah untuk memperkenalkan format baru perpajakan dan retribusi. Sejumlah pemerintah daerah telah memberlakukan pajak perdagangan (tax trade), baik dalam maupun antar kabupaten/kota dan provinsi, karena jenis pajak ini dianggap mudah untuk diterapkan (hanya menempatkan petugas pada sejumlah lokasi strategis, seperti batas kota, stasiun penimbangan, pelabuhan, jembatan, dll.). Kabupaten Bima misalnya, mengenakan pajak terhadap hampir semua komoditas atau produk yang dikirim keluar melewati perbatasan. Begitu pula Provinsi Lampung memberlakukan “licence fee” terhadap 180 jenis komoditas yang di ekspor keluar.

Kecenderungan pemerintah daerah yang hanya sekedar memikirkan bagaimana memperbesar “pundi-pundi” penerimaan daerah, tentu saja bukanlah sebuah kecenderungan yang positif dan sehat. Sebab hal tersebut bukan hanya potensial menghambat laju investasi, tetapi juga berdampak buruk bagi perekonomian secara keseluruhan.

7. Memperbaiki dukungan dan pelayanan birokrasi

Beberapa faktor domestik yang menghambat iklim investasi nampaknya belum mengalami perbaikan yang berarti. Salah satu diantaranya adalah prosedur yang panjang dan berbelit, yang tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan, baik untuk kepentingan perusahaan maupun kepentingan nasional seperti dalam penciptaan lapangan kerja.

Saat ini misalnya, berdasarkan peraturan dan regulasi yang berlaku, untuk memulai suatu kegiatan bisnis di Indonesia, para investor memerlukan 11 prosedur yang membutuhkan waktu selama 168 hari dengan biaya 14,5 persen dari rata-rata pendapatan, serta membutuhkan modal minimum tiga kali rata-rata pendapatan. Walaupun biaya tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, namun dari segi waktu hampir tiga kali lipat. Lebih dari itu, masing-masing prosedur merupakan point of contact, sehingga membuka kesempatan terjadinya praktek penyuapan.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu sistem pelayanan investasi yang transparan, cepat, tanggap, dan terkoordinasi. Salah satu bentuk pelayanan investasi yang dinilai efektif dan efisien adalah one-stop licencing office. Sistem ini diyakini dapat menenangkan para investor, karena sistem ini dapat memberi kepastian waktu, biaya, dan prosedur. Tujuan utama sistem ini disamping dapat mengurangi banyaknya lisensi dan surat ijin, juga dapat memangkas banyaknya prosedur yang diperlukan untuk memperoleh lisensi dan surat ijin tersebut.

8. Mengembangkan promosi daerah

Untuk mendorong investasi, daerah dituntut untuk aktif menggali potensi daerahnya dan menginformasikannya kepada publik melalui berbagai media. Keberadaan informasi yang cepat akses, akurat, dan mutakhir, akan membantu pihak investor dalam menganalisis potensi daerah dan melakukan keputusan investasi.

Dewasa ini, salah satu bentuk informasi potensi daerah yang diharapkan dapat membantu pihak investor dalam melakukan keputusan investasi adalah Geographic Information System (GIS). Format informasi ini sedikitnya memuat: (i) data bio fisik, termasuk daerah aliran sungai, hutan, sumberdaya air, keanekaragaman hayati, dan lingkungan hidup; (ii) data sosio-ekonomi, seperti demografi, struktur ekonomi, statistik pertanian, konsumsi dan pengeluaran, kemiskinan, dan indikator pembangunan daerah; (iii) batas administratif wilayah hingga tingkat desa; (iv) tata pemerintahan, informasi kebijakan dan perencanaan; dan (v) peta infrastuktur, termasuk jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta.

9. Mengembangkan kemitraan (partnership)

Ketersediaan infrastruktur menjadi salah satu prasyarat bagi tumbuh-kembangnya investasi. Namun pemerintah daerah secara umum memiliki keterbatasan untuk menyediakan infrastruktur yang memadai, akibat anggaran pemerintah daerah yang relatif terbatas. Oleh karena itu, konsep kemitraan (partnership) menjadi sebuah alternatif yang paling mungkin bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan infrastuktur daerah. Hampir sulit mengharapkan tersedianya infrastruktur yang memadai tanpa adanya keterlibatan pihak swasta dan masyarakat.

Namun dalam kenyataannya, konsep kemitraan, katakanlah dalam bentuk public-private partnership, belum banyak dipraktekkan oleh pemerintah daerah. Ketidak-mampuan pemerintah daerah untuk menawarkan berbagai bentuk kemitraan, ketidak-jelasan konsep kemitraan yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, tawaran kemitraan yang tidak menarik bagi kalangan investor, merupakan beberapa faktor penyebab mengapa konsep kemitraan belum berkembang di daerah. Nampaknya, pemerintah daerah perlu lebih mencurahkan perhatian mengenai hal ini di masa-masa yang akan datang.

10. Mengembangkan regional management

Untuk menciptakan efektifitas, efisiensi, dan peningkatan daya saing daerah, konsep manajemen kewilayahan (regional management) nampaknya patut dipertimbangkan. Konsep ini berbasis pada kebutuhan untuk mewujudkan kerjasama dan sinergi pembangunan antar daerah pada suatu kawasan (wilayah). Konsep ini bukan hanya akan menciptakan skala ekonomi (economic scale), memberdayakan potensi ekonomi, memperluas pasar regional, menciptakan efisiensi pembangunan dan efektifitas pemanfaatan infrastruktur, tetapi juga menciptakan lokalisasi investasi dan platform kebijakan investasi.

Pada sisi lain, konsep regional management juga dapat menurunkan tensi persaingan antar daerah, karena konsep ini lebih mengedepankan pada semangat kerjasama yang saling menguntungkan antar daerah. Melalui konsep ini, berbagai bentuk kerjasama wilayah akan dapat diwujudkan, misalnya pengembangan komoditas unggulan, pembangunan infrastruktur (pembangkit listrik, pelabuhan, jaringan telekomunikasi, dll.).

11. Membangun business networking

Salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan untuk mengoptimalkan investasi daerah adalah pengembangan jaringan bisnis dan investasi (investment and business networking). Untuk efektifnya suatu jaringan bisnis dan investasi di daerah, maka perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif terhadap pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam jaringan dimaksud, yaitu: (i) aparatur pembina bisnis (misalnya BKPMD); dan (ii) para pelaku ekonomi dan bisnis.

Dalam banyak kasus, hubungan antara kedua pihak tersebut seringkali tidak sejalan terutama karena perbedaan persepsi yang berkaitan dengan wawasan bisnis, sistem pengendalian manajemen, dan penerapan teknologi. Hal ini mengakibatkan pengembangan bisnis di daerah belum optimal. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan kemampuan SDM aparat sehingga lebih profesional, mandiri dan memiliki wawasan bisnis. Di samping itu harus diciptakan pula hubungan yang lebih harmonis antara aparatur pembina bisnis dan para pelaku ekonomi di daerah sebagai upaya mewujudkan jaringan bisnis di daerah.

12. Mempertajam strategi belanja publik

Pemerintah daerah sudah saatnya memikirkan strategi pembelanjaan (financing strategy), yang di satu pihak efektif mencapai tujuan dan sasaran pembangunan, namun di lain pihak mampu memberi efek balik bagi penerimaan daerah. Pemerintah daerah sudah saatnya mengkalkulasi secara cermat multiplier effect dan return of investment atas setiap jenis belanja modal yang dialokasikan. Pengembangan revenue program dan pemilihan secara cermat pembangunan social overhead capital yang potensial merangsang investasi, merupakan bagian dari upaya ini. Cara seperti ini setidaknya dapat membantu pemerintah daerah untuk tidak selalu berpikir tentang bagaimana memperbanyak jenis pungutan (pajak dan retribusi).

5. Penutup

Pemerintah daerah merupakan aktor kunci bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif dan pengembangan investasi daerah. Kebijakan yang tepat, peraturan dan regulasi yang jelas, pelayanan yang responsif, merupakan sejumlah aspek yang perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah daerah di masa yang akan datang. Amat sulit mengharapkan adanya arus investasi ke daerah sekiranya sejumlah aspek tersebut tidak ditangani atau dibenahi secara sungguh-sunguh oleh pemerintah daerah.

Daftar Bacaan

Agussalim, 2005, The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pembangunan, Majalah Simpul Perencana, Pusbindiklatren BAPPENAS, ISSN 1656-4229, Volume 5, Tahun 3, Juni 2005, Hal. 28-32.
Agussalim, 2003a, Otonomi Daerah dan Pengembangan Investasi, modul pada diklat subtantif Perencanaan Investasi Daerah, kerjasama BAPPENAS dengan Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PSKMP) Universitas Hasanuddin, Makassar.
Agussalim, 2003b, Rencana Investasi Sulsel: Perkiraan Kebutuhan Investasi Tahun 2004-2008, disusun atas permintaan Badan Promosi Penanaman Modal (BPPMD) Propinsi Sulawesi Selatan.
Agussalim, 2003c, KTI, Konsepsi Pembangunan, dan Upaya Pencerahan. Makalah yang Disampaikan pada One Day Seminar “Marketing Places: A New Approach for Sustainable Development in Era of Regional Autonomy”, Dilaksanakan oleh Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Sulsel, Hotel Sahid Jaya Makassar, 12 April.
Agussalim (Team Leader), 2002, Master Plan Investasi Sulawesi Selatan, kerjasama Badan Promosi Penanaman Modal Daerah (BPPMD) Propinsi Sulawesi Selatan dengan Bina Mitra Konsultan Makassar.
Amstrong, H, dan Taylor, J, 1993, Regional Economics and Policy, Harvester Wheatsheaf, London.
Bappenas, 2003, Perekonomian Indonesia Tahun 2003: Prospek dan Kebijakan, Jakarta.
Blakely, J. Edward and Ted K. Bradshaw, 2002, Planning Local Economic Development: Theory and Practice, 3rd Edition, Sage Publications.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), 2003, Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia: Persepsi Dunia Usaha, USAID dan The Asia Foundation.
Sen, Amartya, 1988, The Concept of Development, dalam Chenery and Srinivasan, eds., Handbook of Development Economics, Vol. 1, New York: Elsevier Scince Publishers.
Thomas, Vinod et. al., 2000 The Quality of Growth, The World Bank, Washington D.C.
United Nations Conference Trade and Development (UNCTAD), 2002, World Investment Report.
World Bank, 2003, Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, and Quality of Life, World Development Report, Oxford University Press.
World Bank, 2003, Brief for the Consultative Group on Indonesia, Indonesia: Beyond Macroeconomic Stability, Report No. 27374-IND, December.
World Bank, 2005, A Better Investment Climate for Everyone, World Development Report 2005, Oxford University Press.
World Bank, 2005, Indonesia Seeks Better Ways to Attract Investment, Retrieved December 3, 2005 from http://web.worldbank.org/wbsite/external/ indonesia/