Selasa, 30 November 2010
ketahanan pangan
KETAHANAN PANGAN:
SEBUAH UTOPIA BAGI KAUM MISKIN?
Agussalim
The surge in food prices could push 100 million people into deeper poverty. (lonjakan harga pangan bisa mendorong 100 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan yang lebih dalam).
− Robert B. Zoellick, Presiden Bank Dunia.
Pedahuluan
Fenomena kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk yang tampil secara masif dalam beberapa tahun terakhir kembali menegaskan akutnya insekuritas pangan di tingkat rumah tangga. Fenomena ini diyakini akan tambah memburuk di hari-hari mendatang akibat terjadinya kelangkaan dan melonjaknya harga pangan. Situasi ini tidak semata-mata disebabkan oleh aspek domestik, berupa menurunnya produksi dan pasokan, tetapi juga sebagai imbas dari krisis pangan global yang dipicu oleh meningkatnya permintaan pangan, terutama oleh India dan Cina, dan menciutnya lahan pertanian serta kekacauan iklim.
Krisis energi juga dinilai memberi kontribusi penting terhadap krisis pangan global. Program ambisius biofuel (bahan bakar nabati) sebagai alternatif energi migas yang dimotori oleh Amerika Serikat, telah melahirkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga pangan. Sejumlah komoditas penghasil biofuel, seperti kelapa sawit, kedele, jagung, gandum, dan tebu, harganya melonjak tajam. Situasi ini telah menimbulkan kepanikan masyarakat dunia sehingga menyeret permintaan dan harga komoditas lainnya, terutama beras, juga ikut bergerak naik. Lonjakan harga pangan tersebut hampir bisa dipastikan menjadi bencana bagi jutaan penduduk miskin dunia. PBB melabeli fenomena ini sebagai the silent tsunami, bencana tsunami yang secara diam-diam membunuh jutaan penduduk miskin dunia yang tak mampu menjangkau harga pangan yang melonjak. Ini mudah dipahami karena dua pertiga pengeluaran keluarga miskin digunakan untuk membeli bahan makanan.
Lalu, di tengah situasi yang demikian itu, bagaimana memaknai konsep ketahanan pangan yang dipraktekkan selama ini? Apakah konsep ketahanan pangan tersebut sudah cukup memadai untuk menjangkau kaum miskin? Di tengah krisis pangan, konsep ketahanan pangan seperti apa yang sanggup menjangkau kaum miskin? Rentetan pertanyaan tersebut perlu segera ditemukan jawabannya mengingat bahwa pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak azazi manusia, sebagaimana disebutkan di dalam Declaration of Human Right 1998, yang juga turut disepakati oleh pemerintah Indonesia. Artinya, negara harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi kaum miskin dan mereka yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan pangannya.
Konsep Ketahanan Pangan
Selama ini konsep ketahanan pangan pemerintah tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Di dalam peraturan tersebut, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konsep ini diadopsi dari Food and Agriculture Organization (FAO) yang didalamnya mencakup empat komponen, yaitu: pertama, ketersediaan pangan (food availibility), mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, baik bersumber dari produksi domestik maupun impor.
Kedua, stabilitas ketersediaan atau pasokan (stability of supplies), diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Suatu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan di atas cutting point (misalnya untuk Provinsi Lampung sebesar 240 hari) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Ketiga, keterjangkauan terhadap pangan (access to supplies), dilihat dari kemudahan rumah tangga untuk memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara dan kemampuan (daya beli) rumah tangga untuk memperoleh pangan.
Keempat, konsumsi pangan (food utilization), mengacu pada jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran konsumsi pangan hanya dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga.
Namun tetap penting menjadi catatan bahwa defenisi mengenai ketahanan pangan sangat bervariasi. Berbagai lembaga internasional, seperti PBB, Bank Dunia, FAO, Oxfam, FIVIMS, dll. memiliki defenisi yang agak berbeda. Perbedaan tersebut dapat ditemukan dalam tulisan Jonatan Lassa, Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952-2005, http://www.zef.de/module/register/media.
Keempat komponen inilah yang selanjutnya digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Keempat komponen ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan, yang dihitung secara bertahap dengan cara menggabungkan keempat indikator ketahanan pangan tersebut. Dari hasil kalkulasi indeks ketahanan pangan tersebut, selanjutnya rumah tangga diklasifikasi kedalam tiga kategori, yaitu: (i) rumah tangga tahan pangan. (ii) rumah tangga kurang tahan pangan; dan (iii) rumah tangga tidak tahan pangan.
Namun, dalam prakteknya, konsep ketahanan pangan selama ini hanya bertujuan untuk memastikan diproduksinya pangan dalam jumlah yang cukup dengan tidak memperdulikan macamnya, bagaimana, di mana, dan seberapa besar skala produksi pangan tersebut. Konsep ketahanan pangan tidak mempersoalkan apakah pangan tersebut disediakan secara domestik atau di impor. Yang lebih dipentingkan adalah ketersediaan pangan setiap saat dan semua orang dapat mengaksesnya dengan bebas. Dengan demikian, konsep ini sesungguhnya mengabaikan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan secara adil kepada seluruh rakyatnya. Tanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan bukan lagi menjadi urusan negara tetapi dialihkan menjadi urusan pasar.
Kebijakan perdagangan neo-liberal menekankan bahwa mengimpor pangan murah adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan daripada memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas sangat penting bagi ketahanan pangan, sebab dengannya pemanfaatan sumber daya di dunia lebih efisien. Dengan argumentasi itu, urusan pangan diserahkan sepenuhnya ke pasar dan mekanisme perdagangan ditentukan oleh perdagangan bebas. Itulah sebabnya, atas nama perdagangan bebas, ekspor pangan dari negara maju ke negara terbelakang mengalir dengan deras. Dari 149 negara dunia ketiga, 105 diantaranya merupakan negara pengimpor pangan bersih (net imported) yang mengindikasikan bahwa negara-negara tersebut tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menghasilkan pangannya sendiri (Tujan, 2007). Pola produksi, distribusi, dan konsumsi tampaknya sepenuhnya didikte oleh kekuatan internasional, dan negara terbelakang hanya bisa menerima dengan pasrah.
Pada tingkatan teoritis, persepsi ketahanan pangan sekedar sebagai masalah ketersediaan pangan, merupakan turunan dari paradigma kaum Maltusian yang berargumentasi bahwa insekuritas pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan pangan semata. Amartya Sen (1981) menggugat paradigma tersebut dengan mengangkat kasus di India dan Afrika. Sen mampu menunjukkan bahwa insekuritas pangan dan kelaparan justru kerapkali terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures) bahkan ketika produksi pangan berlimpah. Dalam pandangan Sen, produksi pangan bukanlah determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu. Dengan perspektif ini, swasembada pangan tidak serta-merta identik dengan ketahanan pangan. Sebab, ketahanan pangan bukan persoalan produksi semata tetapi lebih soal manajemen investasi pada sektor-sektor non-pangan dan non-pertanian dilihat sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan
Maxwell and Slater (2003) juga turut mengevaluasi definisi ketahanan pangan dan menemukan bahwa diskursus mengenai ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaan-penyediaan (supply and availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements). Sejak tahun 1980an awal, diskursus global mengenai ketahanan pangan didominasi oleh hak atas pangan (food entitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Amartya Sen (1981) dianggap sebagai salah satu pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell dan Slater, 2003; Boudreau dan Dilley, 2001).
Fakta internasional menunjukkan bahwa banyak negara yang mampu mencapai swasembada pangan tetapi mengalami insekuritas pangan. Ini jelas terlihat ketika Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984, justru jumlah bantuan pangan USA pada waktu yang sama adalah rata-rata tigapuluh kali lebih besar ketimbang dekade 90an, ketika Indonesia tidak lagi memegang predikat swasembada pangan nasional. Tampak jelas, swasembada pangan tidak serta merta menjawab persoalan distribusi pangan dan akses atas pangan secara adil dan merata (Stevens et. al., 2000).
Fakta lainnya menunjukan bahwa produksi pangan Indonesia tahun 2004 mampu memberikan hasil yang menggembirakan (Lihat publikasi FAO, Food Outlook, April 2004), tapi disayangkan bahwa Indonesia tidak mampu mencapai ketahanan pangan yang memadai. Peristiwa kelaparan dan malnutrisi di berbagai tempat di Indonesia menegaskan hal tersebut. Jelaslah bahwa swasembada pangan tingkat nasional tidak serta merta menjawab persoalan distribusi pangan dan akses atas pangan secara adil dan merata.
Menuju Kedaulatan Pangan
Fenomena kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di berbagai belahan dunia menimbulkan keraguan atas efektifitas konsep ketahanan pangan tersebut. Menurut data Bank Dunia, sedikitnya 3 miliar penduduk bumi (memperoleh pendapatan kurang dari USD 2 per hari) terperangkap pada kemiskinan dan kelaparan. Dari angka tersebut, 60% bermukim di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negera-negera Sub-Sahara dan Afrika sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia sekitar 6%. Diperkirakan setiap tahun angka tersebut bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta orang meninggal karena kelaparan dan gizi buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengamati fakta tersebut, kedaulatan pangan lalu ditawarkan sebagai alternatif solusi atas kelemahan konsep ketahanan pangan selama ini. Kedaulatan pangan adalah interpretasi luas dari hak atas pangan, yang melampaui wacana tentang hak pada umumnya. Kedaulatan pangan dimaknakan sebagai hak seluruh rakyat, bangsa dan negaranya untuk menentukan kebijakan petanian dan pangannya sendiri tanpa campur tangan negara lain. Kedaulatan pangan mempersyaratkan hak rakyat atas pangan. Pada titik ini, kedaulatan pangan bukan lagi sekedar persoalan produksi, distribusi, dan akses. Tampak jelas, konsep kedaulatan pangan telah berkembang sedemikian rupa melampaui konsep ketahanan pangan.
Gugatan atas konsep ketahanan pangan semakin relevan karena apa yang terjadi saat ini menegaskan bahwa kebutuhan pangan domestik ternyata sangat rentan terhadap gejolak internasional. Berbagai jenis kebutuhan pangan domestik seperti beras, jagung, kedele, dan berbagai jenis pangan lainnya, ternyata di supplai oleh pasar impor. Akibatnya, ketika terjadi lonjakan harga di pasar dunia, Indonesia ikut terseret ke dalam krisis pangan.
Kedaulatan pangan hanya bisa diwujudkan ketika ketersediaan pangan tidak ditempatkan di pasar yang rentan, namun ditumpukan pada kemampuan domestik. Berbagai jenis kebutuhan pokok, terutama beras, jagung, kedele, gandum, minyak goreng, dan gula tebu, harus mampu dihasilkan sendiri. Swasembada pangan menjadi sebuah keniscayaan.
Untuk mewujudkan upaya tersebut, dari sisi supply, pemerintah dituntut untuk: (i) meningkatkan akses petani terhadap lahan melalui kebijakan land reform (reformasi agraria); (ii) menjamin akses petani terhadap air untuk lahan pertanian, pupuk, dan aneka varietas bibit unggul; (iii) memberi akses kepada petani untuk memperoleh kredit mikro berbunga lunak; dan (iv) menyiapkan berbagai kerangka regulasi dan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas.
Sedangkan dari sisi demand, pemerintah diharapkan mengambil inisiatif untuk: (i) menjamin pasar yang lebih fair; (ii) mengendalikan dan menjamin distribusi pangan yang lebih merata; (iii) menjaga stabilisasi harga bahan pangan; (iv) mendorong diversifikasi konsumsi pangan di tingkat rumah tangga; (v) menyebarkan surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (vi) menyediakan bahan pangan secara gratis maupun bersubsidi kepada penduduk miskin.
Dalam konteks alam, petani perlu perlindungan atas aneka kemungkinan kerugian akibat bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan bencana lainnya. Negara perlu memberi jaminan hukum bila itu terjadi, petani tidak terlalu menderita. Salah satu caranya, perlu regulasi yang mewajibkan pemerintah mengembangkan asuransi kerugian atau kompensasi kerugian bagi petani atas bencana alam.
Insekuritas Pangan
Jika merujuk pada data BPS, jumlah penduduk yang rawan pangan (miskin) sebesar 39,5 juta orang atau 16,58% dari total penduduk. Namun jika merujuk pada data Bank Dunia, penduduk yang rawan pangan mencapai 109 juta orang atau sekitar 49,5% dari total penduduk. Diperkirakan hampir setengah dari angka tersebut mengalami rawan pangan kritis. Setengah dari kaum miskin tersebut adalah petani kecil, dan seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para buruh tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya sendiri.
Jika diamati penyebarannya berdasarkan provinsi, Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Maluku merupakan tiga wilayah yang mencatat persentase penduduk rawan pangan paling besar (di atas 30% dari total penduduk). Namun secara umum, penyumbang terbesar penduduk rawan pangan tetap berada di Pulau Jawa. Lebih dari setengah jumlah penduduk yang rawan pangan di Indonesia (56,67%) menempati wilayah ini.
Kondisi ini diperkirakan akan tambah memburuk. Dua lembaga PBB yang mengurusi pangan, yaitu World Food Program (WFP) dan Food and Agriculture Organization (FAO), mengungkapkan, akibat kenaikan harga minyak yang menembus US$ 100 per barel pada akhir tahun lalu, harga pangan dunia meroket hingga rata-rata 40%. Lonjakan harga ini terjadi pada komoditas beras, jagung, dan kedelai. Harga jagung bahkan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Begitu juga harga kedelai, yang mencetak rekor puncak dalam 35 tahun terakhir. Yang cukup mengejutkan, hasil kalkulasi FAO (2007) menyebutkan bahwa selama rentang waktu 2007-2016 kenaikan harga pangan tidak bersifat temporer tetapi cenderung permanen. WFP pun menyebutkan, pada saat ini stok beras dunia mencapai titik terendah, sehingga mendorong harga ke level tertinggi selama 20 tahun terakhir. Sedangkan stok gandum berada di titik nadir selama 50 tahun terakhir. Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin mengalami krisis pangan, termasuk Indonesia. Global Information and Early Warning System yang dibangun FAO menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis itu. Selain Indonesia, di kawasan Asia ada delapan negara lagi yang mengalami krisis pangan, yakni Irak, Afghanistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste.
Sebagai negara pengimpor bersih (net imported) berbagai komoditas pangan, Indonesia dipastikan akan mengalami krisis pangan. Secara domestik, untuk mengantisipasi kelangkaan pangan, pemerintah menaikkan subsidi di sektor pertanian menjadi Rp 23 triliun pada tahun 2008, atau naik sebesar 21 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya Rp 19 triliun. Boleh jadi kenaikan ini akan mendorong peningkatan produksi dan mampu mengurangi kelangkaan pangan domestik. Namun tidak pernah bisa dijamin bahwa kenaikan anggaran tersebut akan serta-merta memberi dampak terhadap perbaikan pangan di level kaum miskin. Keraguan tersebut mudah dipahami karena kebijakan yang dipraktekkan selama ini berbasis pada sektor dan komoditas. Kebijakan seperti ini bukan hanya lemah dari sisi pemerataan dan keadilan, tetapi juga sulit menilai dampaknya terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat, terutama kaum miskin. Ke depan, kebijakan yang berbasis pada komunitas perlu segera diagendakan untuk menggantikan kebijakan yang berbasis pada komoditas.
Jika agenda tersebut belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat, maka sebuah pertanyaan mendasar patut diajukan: bentuk kompensasi seperti apa yang disiapkan pemerintah bagi kaum miskin ketika harga beras dan pangan melonjak tajam. Pertanyaan ini penting untuk memastikan bahwa kaum miskin benar-benar terbebas dari kemungkinan kelaparan akibat krisis pangan.
Pangan Sampai Ke Mulut
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketersediaan pangan tidaklah cukup untuk mengatasi insekuritas pangan. Ia harus disertai dengan peningkatan akses terhadap pangan. Pemerintah seringkali mengklaim bahwa stok pangan nasional lebih dari cukup, berbagai bentuk subsidi pangan (misalnya beras untuk orang miskin) telah disiapkan, dan keberadaan penduduk miskin telah diidentifikasi, namun kisah tentang kelaparan dan gizi buruk juga terus terdengar dengan sebaran wilayah yang semakin luas. Ini menegaskan bahwa ternyata tidak setiap orang memiliki akses yang cukup terhadap pangan.
Jika demikian, konsep ketahanan pangan tampaknya sudah harus bergerak lebih jauh lagi dari sekedar ketersediaan pangan ataupun peningkatan akses terhadap pangan, tetapi juga bagaimana menghantarkan pangan itu sampai ke “mulut” kaum miskin tanpa mengalami distorsi. Ini penting ditegaskan, karena dalam banyak kasus berbagai program yang dirancang untuk kaum miskin tidak sepenuhnya dinikmati oleh kaum miskin. Dalam laporan Bank Dunia (2001) misalnya, disebutkan bahwa program Raskin (bantuan beras untuk orang miskin), 64% masyarakat miskin memperoleh bantuan tersebut, namun 36% masyarakat non-miskin juga menerima subsidi beras. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digulirkan pemerintah sejak 2005, juga diduga kuat mengalami banyak pembiasan.
Cerita tentang program untuk kaum miskin yang bias ke non-miskin bukanlah sesuatu yang baru, seperti halnya bantuan untuk kaum miskin yang tidak jatuh ke tangan orang miskin. Kisah Daeng Besse di Makassar menegaskan betapa kaum miskin seringkali tidak tersentuh oleh berbagai program pengentasan kemiskinan. Kisah ini juga sekaligus merupakan paradoks, sebab tahun 2007 pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memperoleh penghargaan dari pemerintah pusat untuk bidang ketahanan pangan. Selain itu, Provinsi Sulawesi Selatan selama ini juga dikenal sebagai “lumbung pangan nasional”. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan bahkan tak henti-hentinya melaporkan adanya surplus beras 1,2 juta ton setiap tahunnya.
Jika ditelusuri, rentetan kisah kemiskinan dan kelaparan yang berakhir tragis, ternyata cukup panjang. Junaini Mercy, seorang ibu muda di Malang, karena derita kemiskinan, telah melakukan tindakan bunuh diri setelah terlebih dahulu menghabisi nyawa keempat anaknya. Mereka menenggak minuman yang sudah dicampuri racun potasium. Kemiskinan telah menjeratnya dengan sangat dalam.
Sebelumnya, sebuah kisah yang terjadi di Pontianak tak kalah memilukan. Seorang ibu membakar diri bersama anaknya karena tidak mampu lagi membeli beras untuk sekedar makan. Ia kalah dan putus asa. Kemiskinan telah mengubur seluruh harapannya tentang hidup. Bunuh diri dianggapnya sebagai sebuah ”jalan keluar” yang pantas.
Kisah kemiskinan yang memilukan terus berlanjut dengan ekspresi yang lebih menyentak nurani kemanusiaan kita. Seorang ibu di Bekasi dan di Pekalongan membunuh anaknya dengan cara yang sama, yaitu dengan menenggelamkannya di kolam bak mandi. Tindakan itu dipilihnya karena ia merasa putus asa akibat tekanan dan beban ekonomi yang sudah tak sanggup dipikulnya.
Keseluruhan kisah memilukan di atas, menegaskan kembali sejumlah fakta bahwa tidak semua orang memiliki akses yang memadai terhadap pangan, tidak semua orang tersentuh oleh berbagai program bantuan yang dikucurkan pemerintah, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memperoleh pangan, dan tidak semua orang mempunyai keberanian yang cukup untuk mengutarakan derita kemiskinannya kepada pihak lain.
Kenaikan harga pangan, khususnya beras, juga telah menghambat proses pangan menuju ke “mulut” kaum miskin. Menurut hasil studi Bank Dunia 2007, sebanyak 3,1 juta orang jatuh ke dalam jurang kemiskinan akibat kenaikan harga beras 33% selama periode Februari 2005 sampai Maret 2006. Dasar perhitungannya, tiga perempat dari kaum miskin adalah konsumen bersih (net consumer) beras. Persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan untuk penduduk miskin sebesar 23,10%, bahkan di daerah perdesaan persentase ini mencapai 26,08%. Sumbangan pengeluaran beras terhadap garis kemiskinan mencapai 34,91% di perdesaan dan 25,98% di perkotaan. Dengan demikian kenaikan harga beras akan berpengaruh besar terhadap penurunan kualitas hidup penduduk miskin.
Jika studi ini benar, jumlah penduduk miskin akan terus membengkak mengingat harga beras terus bergerak naik. Harga beras Thailand yang menjadi patokan beras dunia naik hingga USD1.000 per ton, dan bahkan diperkirakan akan menembus angka USD1.300 per ton, yang merupakan harga tertinggi sejak Perang Dunia II. Namun guna mengantisipasi instabilitas harga beras dunia dan memelihara kebutuhan konsumsi domestik, Thailand juga melakukan pembatasan ekspor. Langkah ini juga diikuti oleh produsen utama beras lainnya, seperti Vietnam, India, dan China. Semua negara yang memiliki kelebihan pasokan pangan saat ini, sangat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestiknya dalam jangka pendek. Kondisi ini telah menyebabkan terganggunya pasar impor dan memicu kenaikan harga. Akibatnya, negara-negara konsumen beras amat terpukul atas kecenderungan ini, termasuk Indonesia.
Di pasar Asia, harga beras terus merangkak naik pada kisaran 10-15%. Di Indonesia, pemerintah telah menaikkan harga patokan pembelian (HPP) gabah sebesar 10 persen, dari Rp 2.000 per kg menjadi Rp 2.200 per kg. Diprediksi, kenaikan tersebut akan terus berlanjut hingga akhir 2008. Mengamati pergerakan ini, target pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan hingga tersisa 10% di akhir tahun 2008 tampaknya mustahil untuk dicapai.
Untuk menjamin pangan sampai ke mulut orang miskin, disamping kebijakan pangan murah (tetap patut dicatat bahwa kebijakan pangan murah dapat menimbulkan konsekuensi lain. Kebijakan pangan murah yang dijalankan Amerika Serikat misalnya, menuai empat konsekuensi, yaitu: (i) rendahnya harga dan pendapatan petani akibat disinsentif produksi; (ii) menurunnya penerimaan ekspor; (iii) kehilangan pasar ekspor; dan (iv) merusak reputasi negara tersebut dalam perdagangan global), distribusi pangan yang baik, peningkatan akses terhadap pangan, dan pemberian pangan gratis dan bersubsidi, tampaknya harus memperoleh perhatian sungguh-sungguh di masa depan. Meskipun kebijakan ini tampaknya bersifat charity, hanya akan mengatasi insekuritas pangan transisional dan berfungsi untuk sekedar “menahan” agar kaum miskin tidak terperosok lebih dalam ke jurang kemiskinan, namun untuk konteks saat ini kebijakan ini sangat berguna bagi kaum miskin agar mereka tidak terkunci dalam kelaparan dan gizi buruk.
Namun untuk perspektif jangka panjang, baik dalam kaitan mewujudkan ketahanan pangan maupun untuk mengatasi kemiskinan struktural, kebijakan ini dianggap tidak memadai. Skema peningkatan produktivitas dan pendapatan bagi kaum miskin secara berkelanjutan dianggap jauh lebih relevan. Namun harus diakui bahwa kebijakan dan program pemerintah selama ini tampaknya tidak banyak diorientasikan pada area ini. Peningkatan akses terhadap pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, sanitasi, air bersih, listrik, dll.), perbaikan infrastruktur perdesaan (yang bersentuhan langsung dengan petani dan nelayan), penyediaan public work programmes, dan peningkatan akses terhadap kredit mikro bagi kaum miskin, merupakan upaya cerdas untuk memperbaiki kualitas hidup kaum miskin secara sustainable. Kebijakan yang lebih radikal, seperti reformasi agraria dan pajak hiper-progresif, mungkin dapat menjadi pilihan berikutnya jika pemerintah sungguh-sungguh peduli terhadap nasib kaum miskin.
Namun upaya tersebut tidak akan mengalami kemajuan berarti dan sulit didorong untuk bergerak menuju level yang lebih baik jika ruang demokratisasi tidak dibuka luas bagi kaum miskin. Sebab ketika orang miskin tidak memiliki akses yang memadai terhadap berbagai bentuk pengambilan keputusan, perumusan kebijakan publik, dan desain program pengentasan kemiskinan, sulit mengharapkan kelaparan dan gizi buruk tidak menghinggapi kehidupan mereka. Ketika ruang demokratisasi yang tersedia bagi kaum miskin hanya saat proses pilkada berlangsung (pengerahan massa saat kampanye dan pemilik suara saat pencoblosan) dan sesudah itu dilupakan, jangan pernah berharap taraf hidup kaum miskin bisa bergerak ke tingkat yang lebih baik.
Jika upaya-upaya seperti tidak sungguh-sungguh menjadi agenda kebijakan di masa depan, maka percayalah bahwa ketahanan pangan hanya merupakan sesuatu yang utopis bagi kaum miskin dan kelompok marginal lainnya.
Daftar Bacaan
Achmad Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE Yogyakarta.
Ahmad Erani Yustika. 2008. Pangan Murah dan Sindrom Kelangkaan. Haran Kompas. Edisi 20 Februari 2008.
Agussalim. 2007. Pengeluaran Anggaran Pemerintah dan Pengurangan Angka Kemiskinan. Jurnal “Ekonomi dan Bisnis”. Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Surabaya. ISSN: 1410-9204. Vol. 10 No. 10. Desember 2007. Hal. 55-72.
Agussalim. 2008. Reduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal Baru Untuk Indonesia. Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Universitas Hasanuddin. Dalam proses naik cetak.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2004. Food Outlook. April 2004.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2006. The State of Food Insecurityin the World.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2007. Food Outlook. November 2007.
Jonatan Lassa. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005. http://www.zef. de/module/register/media.
Khudori. 2008. Daulat Pangan. Kolom Opini. Harian Kompas, Edisi 1 April 2008.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Info Ristek. Vol. 5. No. 2.
Maxwell, S. 1996. Food Security: A Post-modern Perspective. Food Policy. Vol. 21. No. 2. p. 155-170.
Maxwell, S. and Slater, R. 2003. Food Policy Old and New. Development Policy Review. Vol. 21(5-6). p. 531-553.
Ninok Leksono. 2008. Urgen, Teknologi Antipemanasan Global, Kolom Iptek, Harian Kompas, Edisi 16 April 2008.
OECD-FAO. 2007. Agricultural Outlook 2007-2016.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2005. Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Perdesaan: Konsep dan Ukuran. http://www.bapeda-jabar.go.id/bpd_site/_doc_digital/grhwvthuj3ftz.pdf.
Sen, Amartya. 1981. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford. Clarendon Press.
Tujan, Antonio (Ed.). 2007. Modul tentang Ketahanan Pangan: Panduan Pelatihan untuk Kedaulatan Pangan. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
World Bank. 2001. Indonesia: Constructing a New Strategy for Poverty Reduction. Report No. 23028-IND. October.
World Bank and INDOPOV. 2006. Making the New Indonesia Work for the Poor. November.
0 comments:
Posting Komentar