Kamis, 17 Februari 2011

kesalahan mamahami kemiskinan

KESALAHAN MEMAHAMI KEMISKINAN

Agussalim

Suatu hari, di penghujung tahun 2009, saya bertemu dengan seorang Bupati. Dengan bersemangat - dan juga rasa bangga - ia menceritakan keberhasilannya menurunkan secara signifikan jumlah penduduk miskin di daerahnya. Angkanya tidak main-main. Dalam rentang waktu hanya empat tahun, jumlah penduduk miskin telah berhasil diturunkan lebih dari setengah. Saya menyimaknya dengan takzim. Karena rasa ingin tahu yang begitu besar, saya meresponnya dengan beberapa pertanyaan kecil: di lokasi manakah persisnya orang yang berhasil keluar dari jeratan kemiskinan itu? Faktor apa yang menjadi penyebabnya? Apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadapnya? Kebijakan dan program mana yang bekerja efektif mengeluarkan mereka dari derita kemiskinan? Mengapa sebagian penduduk sudah berhasil keluar dari jeratan kemiskinan, sementara penduduk lainnya masih berkubang dengan derita kemiskinan? Lawan bicara saya mulai tergagap. Cerita tak lagi mengalir deras. Saya merasa bersalah.

Menarik kemudian untuk dipersoalkan, mengapa tidak mudah memberi jawaban atas berbagai pertanyaan di atas? Saya kira, salah satu jawabannya, karena cara pandang yang digunakan selama ini dalam studi kemiskinan memiliki banyak kelemahan. Dalam banyak kasus, kemiskinan selalu dipandang dari perspektif makro-sentralistik. Studi-studi kemiskinan pada umumnya lebih fokus pada aspek relasional antara kebijakan makro dan kemiskinan, misalnya dampak subsidi BBM terhadap kemiskinan (sebagaimana dilakukan oleh LPEM-UI), dampak kenaikan harga beras terhadap angka kemiskinan (sebagaimana dilakukan oleh World Bank), dan berbagai hasil kajian serupa. Padahal, hasil studi semacam ini potensial melahirkan debat, diskursus, dan polemik. Kita tidak pernah sepenuhnya yakin akan hasil studi LPEM-UI yang menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan angka kemiskinan. Muncul dugaan jangan-jangan ada nuansa politik di balik kesimpulan studi tersebut. Kita juga tetap menyangsikan kesimpulan Bank Dunia yang menyatakan bahwa kenaikan harga beras menjadi penyebab utama terjadinya pembengkakan jumlah penduduk miskin. Muncul anggapan jangan-jangan kesimpulan ini berkaitan erat dengan grand design untuk meliberalisasi perdagangan beras. Kita bahkan menuduh Bank Dunia telah melakukan simplifikasi yang berlebihan atas kompleksitas masalah kemiskinan. Berbagai kesangsian tersebut muncul karena realitas empiris tidak berjalan paralel dengan hasil studi tersebut.

Mengandalkan studi-studi makro memang seringkali tidak memuaskan. Informasi yang dihasilkan hampir tidak pernah akurat dan valid. Studi semacam ini tidak pernah sanggup menyediakan informasi rinci mengenai: (i) dimana persisnya orang miskin tersebut bermukim?; (ii) bagaimana karakteristik dan profil penduduk miskin?; (iii) faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka miskin?; (iv) bagaimana mengamati perubahan taraf hidup mereka (orang miskin) dari waktu ke waktu?; dan (v) siapa saja orang miskin yang berhasil dientaskan dan siapa saja yang masih berkutat dengan kemiskinan?. Dan seterusnya.

Bagaimana mengatasi masalah ini? Pertama, perlu perubahan arah studi. Studi-studi kemiskinan harus dilakukan pada level mikro-desentralistik. Keunggulan studi semacam ini adalah keakurasiannya dalam mengindentifikasi karakteristik penduduk miskin, sehingga pada gilirannya sangat memudahkan dalam implementasi program dan kegiatan pengentasan kemiskinan serta melakukan evaluasi atas kemajuan yang dicapai dalam berbagai upaya pengentasan kemiskinan. Dengan studi semacam ini, program dan kegiatan pengentasan kemiskinan yang selama ini kerapkali tidak tepat sasaran dan bias ke orang non-miskin, akan dapat dihindari.

Kedua, perubahan cara pandang. Kemiskinan tidak bisa lagi dipandang semata-mata dari perspektif kemiskinan individu, sebagaimana paradigma yang dianut selama ini, namun harus dilihat dari perspektif kemiskinan struktural. Cara pandang ini menekankan pada konsep kemampuan sosial (social capability) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa indikator kunci yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencarian, memenuhi kebutuhan dasar, mengelola aset, menjangkau sumberdaya, berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan.

Ketiga, perubahan indikator. Indikator yang digunakan selama ini untuk mengidentifikasi kemiskinan sangat terfokus pada kondisi atau keadaan kemiskinan berdasarkan faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya dipandang sebagai orang yang serba tidak memiliki: tidak memiliki materi, tidak terdidik, tidak sehat, tidak berdaya, dan sebagainya. Ke depan, indikator sebaiknya difokuskan pada “apa yang dimiliki orang miskin”. Indikator dimaksud sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga.

Keempat, perubahan metode pengukuran. Metode yang digunakan selama ini belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Tampak jelas, metodenya masih berpijak pada outcome indicators, sehingga kurang memperhatikan aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya. Ke depan, metode pengukuran harus mampu menempatkan orang miskin sebagai manusia (human being) yang memiliki “sesuatu” yang dapat digunakannya, baik dalam mengidentifikasi kondisi kehidupannya maupun usaha-usaha perbaikan yang dilakukan mereka sendiri. Dengan kata lain, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespons kemiskinannya.

Pergeseran arah studi, cara pandang, indikator, dan metode pengukuran kemiskinan mendesak untuk segera dilakukan karena sepertinya susah berharap masalah kemiskinan akan dapat terselesaikan ketika paradigma lama masih memenuhi benak kita.

0 comments:

Posting Komentar