Rabu, 30 Maret 2011

kenaikan harga BBM

HARUSKAH HARGA BBM DINAIKKAN?

Agussalim

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar Edisi Senin, 28 Maret 2011)

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM menuai polemik. Argumentasi kuat dibalik keinginan tersebut adalah semakin membengkaknya subsidi BBM yang dipicu oleh meningkatnya harga migas di pasar internasional yang sudah jauh melampaui asumsi harga migas APBN. Saat ini harga migas di pasar internasional sudah menembus angka di atas 100 dollar AS per barel dan diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan krisis politik yang sedang berlangsung di beberapa negara penghasil migas. Pembengkakan subsidi, tentu saja, akan semakin membebani APBN dan mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan ekspansi fiskal. Sebagai negara pengimpor migas bersih, tentu saja, argumentasi ini sangat rasional dan masuk akal. Tampak tidak ada yang salah dengan logika ini, apalagi jika perspektif semata-mata diletakkan pada pertimbangan dan kalkulasi ekonomi.

Tapi sebuah kebijakan yang “menyangkut hajat hidup orang banyak” dan “memberi dampak yang sangat luas bagi kemanusian”, tidak harus sepenuhnya berpijak pada hitung-hitungan ekonomi. Bagi orang yang mempelajari ekonomi pembangunan dengan baik akan sangat mengerti bahwa tujuan dan muara akhir pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat. Kita tidak mungkin menemukan dalam referensi manapun bahwa tujuan akhir pembangunan adalah APBN yang sehat. Jika kedua kondisi ini sulit untuk dipertemukan, maka kita harus mengajukan dua pertanyaan kunci: (1) bolehkah kita lebih mementingkan APBN yang sehat dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat?, atau sebaliknya, (2) bisakah kita lebih mengendepankan kesejahteraan masyarakat dengan sedikit mengorbankan APBN? Selain kedua pertanyaan tersebut, sesungguhnya kita masih memiliki sebuah pertanyaan yang masih hipotetikal: apakah kesejahteraan masyarakat hanya bisa diwujudkan jika APBN sudah sehat terlebih dahulu?

Pertanyaan terakhir potensial menimbulkan debat. Tapi semua jawaban yang terlontar pasti bersifat hipotetikal yang dibangun diatas eksperimen berpikir, bukan fakta faktual. Oleh karena itu, mungkin ada baiknya jika pemerintah mempertimbangkan enam aspek berikut, sebelum memutuskan untuk mengambil kebijakan penting ini.

Pertama, kenaikan harga BBM selalu memicu kenaikan harga (inflasi), meski perhitungan secara statistikal seringkali tidak mendukung pernyataan ini, terutama oleh mereka yang pro pada pemerintah. Tanpa kenaikan harga BBM pun, angka inflasi sudah berada di atas 6 persen, sebuah angka yang berada di atas proyeksi. Beberapa laporan dan publikasi mutakhir dari berbagai lembaga yang kredibel menunjukkan bahwa inflasi menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian Indonesia ke depan. Inflasi, dimana pun, selalu memberi dampak yang jauh buruk bagi kelompok masyarakat kelas bawah.

Kedua, masyarakat menilai tidaklah pantas pemerintah untuk menaikkan harga BBM ditengah kemiskinan masyarakat yang akut dan pengangguran yang luas. Meskipun data statistik menunjukkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin serta tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan, namun angka 30 juta orang miskin (versi BPS) dan 66 juta orang miskin (versi Bank Dunia) serta  jumlah pengangguran terbuka (belum termasuk semi-pengangguran) yang mencapai hamper 9 juta orang, bukanlah angka yang kecil. Kasus kemiskinan dan kelaparan yang tampak semakin massif, juga memberi sinyalemen kuat bahwa taraf hidup masyarakat masih sangat buruk dan “hidup layak” masih sebatas impian.

Ketiga, masyarakat menganggap apakah kenaikan harga BBM merupakan pilihan satu-satunya untuk menutup defisit anggaran (APBN). Tidak adakah pilihan yang lebih cerdas dari Tim Ekonomi pemerintah saat ini untuk menutup defisit anggaran tersebut selain menaikkan harga BBM. Atau, bisakah pembengkakan defisit APBN akibat kenaikan subsidi BBM diimbangi oleh, misalnya, peningkatan pendapatan negara, pengurangan kebocoran penerimaan pajak, penghematan dan efisiensi anggaran, dan seterusnya.   Pertanyaan ini relevan, sebab kita semua maklum bahwa pengelolaan keuangan negara masih diwarnai dengan praktek korupsi, kebocoran, pemborosan dan inefisiensi.

Keempat, argumentasi bahwa penurunan subsidi BBM (dengan menaikkan harga BBM) akan dikompensasi (melalui mekanisme pengalihan subsidi) dengan peningkatan anggaran untuk tujuan-tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak sepenuhnya mampu menyakinkan masyarakat. Pengalihan subsidi BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan berbagai bentuk kompensasi BMM lainnya, yang pernah dipraktekkan sebelumnya dapat dinilai gagal.. Dalam prakteknya, disamping terjadi begitu banyak pembiasaan, juga hasilnya dinilai tidak optimal, karena pendekatannya bersifat parsial, tidak struktural, dan sesaat. Bersamaan dengan itu, dengan terang-benderang masyarakat menyaksikan bahwa politik anggaran selama ini lebih berpihak kepada penyelenggara negara  (termasuk DPR) ketimbang kepentingan masyarakat klas bawah.

Kelima, pemerintah berkali-kali menyampaikan bahwa kenaikan harga BBM merupakan opsi paling akhir. Kita tidak pernah memperoleh penjelasan memadai atas opsi pertama, kedua, kelima, dan seterusnya, sebelum pemerintah memutuskan untuk memilih opsi terakhir. Muncul dugaan, jangan-jangan pemerintah memang tidak punya opsi cerdas, selain menaikkan harga BBM. Kalaupun saat ini pemerintah menawarkan tiga opsi terkait dengan kebijakan BBM, semuanya berkutat dan straight to point pada BBM. Padahal, jika pembengkakan subsidi menjadi sumbu utamanya, maka pengurangan subsidi BBM hanyalah salah satu pemicunya. Dengan kata lain, terdapat begitu banyak faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya defisit anggaran, baik dilihat dari sisi belanja negara maupun pendapatan negara.

Keenam, masyarakat juga tidak pernah disuguhkan informasi yang memadai mengenai bagaimana sebetulnya struktur biaya yang benar-benar riil dalam proses produksi migas. Tampaknya, informasi mengenai migas cenderung bermain di wilayah hilir, bukan di wilayah hulu. Ada kesan kuat, bahwa informasi semacam itu sengaja disembunyikan untuk menutupinya terjadinya praktek “inefisiensi” dalam pengelolaan migas nasional.

Logika Pemerintah

Menurut kalkulasi pemerintah, kenaikan harga migas mentah di pasar internasional akan mendorong terjadinya defisit APBN yang semakin tajam. Potensi defisit menjadi semakin besar karena target lifting migas diperkirankan juga tidak bisa dicapai, yaitu 970 ribu barel per hari. Harga minyak mentah di pasar internasional saat ini sudah berada di atas asumsi harga migas APBN sekitar 20 dollar AS. Padahal, setiap kenaikan harga minyak 1 dollar AS akan memberikan tekanan pada APBN sebesar kurang lebih Rp 800 miliar. Sedangkan tidak tercapainya target lifting migas, disebabkan oleh melemahnya kinerja sumur minyak terkait beberapa masalah, sumur minyak yang sudah tua, gangguan keamanan yang menyebabkan terhentinya eksplorasi minyak, dan penerapan asas cabotage pada kapal-kapal penunjang operasi minyak dan gas (ketentuan baru mewajibkan setiap kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan bendera Merah Putih). Kondisi seperti itu, menurut Menteri Keuangan dapat memicu tambahan defisit Rp 10 trilyun hingga 17 trilyun.

Jika ditelusuri, besarnya angka defisit APBN 2011 setidaknya dipicu oleh tiga penyebab utama (dilihat dari sisi belanja negara dan pembiayaan): (i) subsidi pemerintah yang mencapai Rp 184,84 trilyun. Hampir tiga per empat dari angka tersebut diperuntukkan untuk subsidi energi. Lebih dari setengah diperuntukkan untuk subsidi BBM, atau sebesar Rp 92,8 trilyun; (ii) pembayaran bunga pinjaman, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang mencapai Rp 116,04 trilyun (sekitar seperenam dari total belanja pemerintah pusat); dan (iii) pembiayaan utang, baik dalam negeri maupun luar negeri, mencapai Rp 123,4 trilyun. Pembiayaan luar negeri (neto) juga menunjukkan angka Rp 3,0 trilyun, yang berarti, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri (tidak termasuk bunga) sudah lebih besar Rp 3,0 trilyun daripada penarikan pinjaman baru.

Mengatasi penyebab kedua hampir tidak mungkin dilakukan karena menyangkut kewajiban pemerintah. Sedangkan mengatasi penyebab ketiga juga sangat tidak mudah, sebab berkaitan dengan upaya mencari pinjaman baru (tentu saja tidak menguntungkan dalam perspektif jangka panjang) dan negosiasi utang lama, misalnya dalam bentuk debt moratorium atau rescheduling utang dan berbagai keringanan utang (debt reliefs) lainnya, seperti keringanan bunga, pengurangan utang (hair cut), penghapusan utang (write off), dll.

Oleh karena itu, dapat dimengerti jika pemerintah lebih memilih untuk mengatasi penyebab pertama. Bukankah angka defisit APBN jauh lebih kecil dibandingkan dengan subsidi energi. Bahkan, defisit APBN hanya sedikit lebih besar dibandingkan dengan subsidi BBM. Artinya, dengan memangkas subsidi BBM, maka masalah defisit APBN akan segera terselesaikan dan tidak lagi dipusingkan dengan pembengkakan defisit anggaran.

Dalam kasus BBM, jika pemerintah menghapus subsidi BBM, katakanlah sebesar Rp 45 trilyun pada tahun 2011, dengan konsekuensi harga BBM meningkat, maka defisit anggaran akan berkurang sebesar 50 persen. Jika tahun depan pemerintah melakukan hal yang sama, dengan asumsi defisit anggaran tidak berubah, maka masalah defisit anggaran akan selesai dalam dua tahun. Sebuah skenario yang sebenarnya juga sudah dirancang oleh pemerintahan Megawati Sukarnoputri beberapa tahun yang lalu.

Memang logika ini bukan satu-satunya logika yang digunakan pemerintah. Ada logika lain dibalik keinginan untuk menghapus subsidi BBM. Pemberian subsidi BBM dianggap sama sekali tidak memenuhi azas keadilan dan menyalahi prinsip subsidi. Dalam kasus BBM, kaum papa ataupun konglomerat, angkutan kota ataupun jaguar, industri besar ataupun usaha rumah tangga, semuanya menikmati subsidi. Situasi seperti ini, tentu saja, amat tidak sehat bagi perekonomian.

Situasi ini sebetulnya pernah coba diakali oleh pemerintah melalui pengalihan subsidi BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dan berbagai bentuk kompensasi BMM lainnya. Namun dalam prakteknya, disamping terjadi begitu banyak pembiasaan, juga hasilnya dinilai tidak optimal, karena pendekatannya bersifat parsial, tidak struktural, dan sesaat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika di kalangan masyarakat muncul ketidakpercayaan dan sikap skeptis atas mekanisme pengalihan subsidi seperti itu.

Keprihatian Masyarakat

Kita semua tentu paham bahwa mengatasi defisit anggaran dan mengurangi subsidi secara sistematis memang harus dilakukan oleh pemerintah. Sebab, defisit anggaran dan subsidi yang relatif besar, sesungguhnya tidaklah mencerminkan sistem keuangan negara yang ideal dan sehat. Namun itu semua harus dilakukan bukan semata-mata atas pertimbangan “positif” tetapi juga perlu pertimbangan “normatif”. Misalnya, apakah kenaikan harga BBM pantas dilakukan ditengah situasi ekonomi yang masih carut-marut akibat krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Apakah kenaikan harga BBM pantas dilakukan pada saat kemiskinan akut dan pengangguran masih tampak sangat massif?

Bahkan sejumlah kasus menunjukkan betapa kehidupan masyarakat klas bawah sungguh amat memprihatinkan. Kita masih ingat betul kasus seorang murid yang mencoba gantung diri hanya karena tidak mampu membayar uang sekolah. Masih segar dalam ingatan kita kasus eutenasia yang menghebohkan, dimana seorang suami meminta istrinya untuk disuntik mati hanya karena sudah tidak mampu lagi membayar biaya pengobatan dan ia sendiri sudah terlilit utang. Bahkan yang lebih tragis, beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh sebuah peristiwa memilukan: seorang ibu bunuh diri, sesudah terlebih dahulu menghabisi nyawa anaknya, hanya karena tidak mampu membiayai pengobatan anaknya. Belum lagi kasus ibu muda di Koja Utara yang sudah harus menjual janinnya yang masih dalam kandungan hanya untuk sekedar membayar tunggakan kontrakan rumah dan membeli beras.

Jika kemudian muncul resistensi di masyarakat atas rencana kenaikan harga BBM, amat bisa dipahami. Oleh karena itu, daripada terjadi gejolak sosial (social unrest) di masyarakat, ada baiknya jika kenaikan tersebut ditunda, sambil pemerintah memikirkan berbagai alternatif lain guna membiayai defisit anggaran. Saya kira, masih tersedia begitu banyak pilihan kebijakan yang dapat dilakukan secara simultan, baik dilihat dari sisi pendapatan negara maupun dari sisi belanja negara. Misalnya, (i) melakukan berbagai tindakan efisiensi atau penghematan dalam pengelolaan anggaran negara. Himbaun Presiden SBY kepada pejabat publik agar mengurangi perjalanan keluar negeri dan perjalanan dinas misalnya, patut disambut gembira. Langkah ini mungkin perlu diikuti dengan berbagai upaya lain seperti, tidak merenovasi pagar istana, menunda pengadaan mobil dinas, tidak melakukan pembangunan atau renovasi rumah jabatan, mengurangi acara-acara seremonial, kampanye gerakan hidup sederhana, dll.; (ii) mengatasi kebocoron anggaran melalui manajemen pengelolaan anggaran yang lebih transparan dengan melibatkan lembaga-lembaga independen untuk melakukan pengawasan; (iii) menggalakkan pengenaan pajak progressif (progressive tax) terhadap kaum “the have”. Upaya ini juga sekaligus merupakan bentuk kompensasi atas subsidi BBM yang turut mereka nikmati; (iv) meningkatkan kinerja BUMN melalui manajemen profesional sehingga BUMN betul-betul dapat berfungsi sebagai profit-centre; (v) menunda pembangunan berbagai proyek mercusuar yang sebetulnya tidak terlalu mendesak, seperti pembangunan gedung menara DPR;  dan (vi) menyita asset-asset para koruptor, khususnya yang terlibat dalam kasus BLBI, Bank Century, dsb. Upaya seperti ini dapat berdampak ganda: di satu sisi, uang negara dapat diselamatkan dan defisit anggaran bisa diatasi, dan di sisi lain, citra pemerintah akan terdongkrak naik karena mampu membuktikan komitmennya untuk memberantas KKN.

Kita semua berharap pemerintah akan memikirkan kembali rencana menaikkan harga BBM. Kita tidak ingin angka kemiskinan terus merambat naik. Kita tidak ingin hari-hari kita dipenuhi dengan berita kematian yang memilukan akibat derita kemiskinan dan kelaparan.

0 comments:

Posting Komentar