Minggu, 20 November 2011

Strategi Peningkatan IPM Sulsel

DESAIN STRATEGI UNTUK MENGAKSELERASI PENINGKATAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI SULAWESI SELATAN

(Tulisan ini merupakan policy paper yang dipresentasikan pada Simposium Pembangunan Kasawan Timur Indonesia: Sebuah Karya dari Timur, Hotel Clarion Makassar, 31 Oktober 2011)

Agussalim


Latar Belakang dan Urgensi
Paradigma pembangunan terkini berpusat pada usaha untuk meningkatkan kualitas manusia. Kualitas manusia dimaksud didefinisikan dalam tiga dimensi pokok, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli, yang kemudian dikenal secara popular dengan istilah Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) atau disingkat IPM. Meskipun konsep ini mengalami reduksi karena tidak sepenuhnya menjelaskan secara komprehensif dan utuh mengenai kualitas manusia, namun konsep ini telah digunakan secara luas untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia di sebuah negara atau wilayah/daerah.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana tampak di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013, telah menempatkan pembangunan manusia sebagai tema, substansi, tujuan dan sasaran utama pembangunan daerah. Pembangunan manusia dimaksud dilihat dari dua perspektif, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Manusia. Secara konseptual, IPM merupakan indeks komposit yang menggabungkan tiga dimensi pembangunan manusia, yaitu kesehatan (diukur dengan indikator angka harapan hidup), pendidikan (diukur dengan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan daya beli (diproksi dengan indikator pendapatan atau pengeluaran per kapita). Sedangkan pemenuhan hak-hak dasar manusia, mencakup 10 dimensi, yaitu pangan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman, dan partisipasi. Jika diamati, kedua perspektif ini sesungguhnya memiliki interseksi satu sama lain. Dimensi-dimensi pembentuk IPM juga merupakan komponen dari pemenuhan hak-hak dasar manusia.
Rendahnya nilai IPM Sulawesi Selatan dan posisi relatifnya yang berada di urutan 23 - dari 33 provinsi di Indonesia - pada tahun 2007 (setahun sebelum periode RPJMD Sulawesi Selatan), telah mendorong RPJMD Sulawesi Selatan memasang target yang “cukup ambisius” di akhir periode RPJMD (tahun 2013), yaitu masuk dalam kelompok 10 terbaik dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia, termasuk 10 besar provinsi dengan nilai IPM tertinggi secara nasional. Bagi Sulawesi Selatan, peningkatan IPM merupakan sebuah keniscayaan.
Setelah berjalan hampir tiga tahun, berbagai hasil evalusi pembangunan daerah menunjukkan bahwa target tersebut tampaknya sulit untuk dicapai. Capaian kinerja IPM Sulawesi Selatan memang memiliki kecenderungan meningkat secara absolut. Namun peningkatan tersebut ternyata tidak cukup kuat untuk mengangkat posisi relatif IPM Sulawesi Selatan ke level yang diharapkan. Posisi relatif Sulawesi Selatan hanya bergerak dari peringkat ke-23 tahun 2007 menjadi ke-19 pada tahun 2010. Capaian ini masih tampak jauh dari posisi yang ditargetkan. Bahkan capaian ini menjadi tampak buruk mengingat berbagai dimensi pembangunan daerah lainnya justru menunjukkan kinerja yang cukup impresif, seperti pertumbuhan ekonomi, penurunan tingkat pengangguran, penurunan angka kemiskinan, arus penanaman modal, pembangunan infrastruktur wilayah, dsb.
Pertanyaannya kemudian, strategi apa yang seyogyanya diimplementasikan oleh pemerintah Sulawesi Selatan untuk mengakselerasi peningkatan IPM sehingga posisi relatif Sulawesi Selatan bisa berada pada posisi yang diharapkan? Policy paper ini disusun dengan tujuan menawarkan dan merekomendasikan berbagai strategi untuk mempercepat peningkatan IPM Sulawesi Selatan agar posisi relatifnya di masa depan bisa bergerak lebih akseleratif.
Capaian IPM Sulawesi Selatan
Data publikasi BPS memperlihatkan bahwa secara absolut, IPM Sulawesi Selatan telah mengalami peningkatan yang cukup berarti dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2006, IPM Sulawesi Selatan mencatat angka 68,81 dan kemudian meningkat menjadi 69,62 pada tahun 2007. Angka tersebut terus bergerak naik hingga menjadi 70,22 pada tahun 2008 dan 70,94 pada tahun 2009.  Pada tahun 2010, angka IPM Sulawesi Selatan telah mencapai 71,62. Ini berarti, angka IPM Sulawesi Selatan meningkat sebesar 2,81 point selama periode 2006-2010, yang merupakan peningkatan tertinggi kedua secara nasional, sesudah Papua Barat.
Meningkatnya nilai IPM Sulawesi Selatan selama periode 2006-2010 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang meningkat secara signifikan serta inflasi yang relatif terkendali telah mendorong peningkatan daya beli masyarakat rata 16,74 persen per tahun. Kedua, perbaikan pada bidang pendidikan, yakni angka melek huruf penduduk yang meningkat dari 85,70 persen pada 2006 menjadi 87,75 persen pada tahun 2010; begitu pula angka rata-rata lama sekolah yang meningkat dari 7,0 tahun pada tahun 2006 menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Ketiga, perbaikan pada bidang kesehatan, dimana angka harapan hidup naik dari 69,2 tahun pada tahun 2006 menjadi 70,8 tahun pada tahun 2010.
Secara relatif, posisi IPM Sulawesi Selatan secara Nasional juga menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun, meskipun masih jauh dari target. Pada tahun 2006 Sulawesi Selatan berada pada posisi 23 dari 33 provinsi di Indonesia, kemudian naik ke peringkat 21 pada tahun 2007, dan posisi tersebut stagnan pada tahun 2008, tetapi kemudian membaik lagi menjadi peringkat 20 pada tahun 2009 dan peringkat 19 pada tahun 2010. Artinya, selama lima tahun terakhir (2006-2010), posisi Sulawesi Selatan bergerak naik empat peringkat. Bila trend kenaikan IPM Sulawesi Selatan ini terus berlanjut dengan pola linear, maka pada akhir periode RPJMD (tahun 2013) peringkat paling baik yang bisa dicapai oleh Sulawesi Selatan hanya posisi 17 dari 33 provinsi di Indonesia. Posisi ini, tentu saja, masih relatif jauh dari target yang telah dipatok di dalam RPJMD.
Tidak membaiknya secara signifikan peringkat IPM Sulawesi Selatan secara nasional disebabkan oleh pergerakan nilai IPM Sulawesi Selatan yang tidak cukup akseleratif. Bahkan beberapa dimensi pembentuk IPM menunjukkan nilai yang lebih rendah, meskipun peningkatannya sedikit lebih cepat dibandingkan dengan capaian Nasional. Sekedar komparasi, angka melek huruf secara Nasional pada tahun 2010 sudah mencapai 92,91 persen, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 87,75 persen. Begitu pula rata-rata lama sekolah secara nasional sudah mencapai 7,9 tahun, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 7,8 tahun. Meskipun kedua indikator tersebut tampak mengalami pergerakan yang sedikit lebih cepat dibandingkan dengan Nasional, namun belum cukup kuat untuk mengangkat posisi IPM Sulawesi Selatan ke tingkat yang diharapkan.
Jika diamati posisi IPM Sulawesi Selatan secara regional (Pulau Sulawesi), Sulawesi Selatan menempati posisi kedua terbaik sesudah Sulawesi Utara, baik secara absolut maupun relatif. Menariknya, selisih nilai dengan Sulawesi Utara dari tahun ke tahun semakin menipis. Pada tahun 2006, selisih nilai IPM Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Utara sebesar 5,60 point, kemudian terus menurun menjadi 4,47 point pada tahun 2010. Pemangkasan selisih ini disebabkan oleh peningkatan nilai IPM Sulawesi Selatan yang bergerak lebih akseleratif dibandingkan dengan seluruh provinsi lainnya di Pulau Sulawesi.
Gambaran lebih rinci mengenai seluruh dimensi dan indikator IPM Sulawesi Selatan dijelaskan secara terstruktur sebagai berikut:
þ Angka harapan hidup Sulawesi Selatan meningkat lebih cepat dibanding angka Nasional, namun masih lebih rendah dari angka Nasional. Angka harapan hidup Sulawesi Selatan meningkat cukup signifikan, yaitu dari 70,2 tahun pada tahun 2007 menjadi 70,8 tahun pada tahun 2010. Meskipun demikian, angka ini masih sedikit lebih rendah dibandingkan dengan angka harapan hidup rata-rata nasional yang sudah mencapai 70,9 tahun pada tahun 2010. Jika diamati pergerakannya dari tahun ke tahun, angka harapan hidup di Sulawesi Selatan bergerak relatif lebih cepat dibandingkan dengan angka nasional. Selama periode 2007-2010, angka harapan hidup Sulawesi Selatan meningkat sebesar 0,6 point, sedangkan Nasional hanya meningkat 0,5 point. Implikasinya, dalam beberapa tahun yang akan datang, angka harapan hidup di Sulawesi Selatan diperkirakan akan mampu menyamai angka nasional. Kecenderungan ini akan memperbaiki IPM Sulawesi Selatan, baik secara absolut maupun relatif.
þ  Angka rata-rata lama sekolah juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun masih berada jauh di bawah angka Nasional serta masih sangat senjang dengan target RPJMD. Pada tahun 2007, rata-rata lama sekolah masih 7,2 tahun dan meningkat menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Angka ini masih berada di bawah angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah mencapai 7,9 tahun. Ini berarti bahwa secara rata-rata, penduduk Sulawesi Selatan hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I SMP dan putus sekolah pada saat menjelang naik kelas II SMP. Positifnya, kesenjangan (gap) antara capaian Sulawesi Selatan dan Nasional tampak semakin menyempit dari tahun ke tahun sebagai akibat peningkatan rata-rata lama sekolah Sulawesi Selatan bergerak sedikit lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan Nasional. Pada tahun 2007, jarak antara Sulawesi Selatan dan Nasional hanya 0,20 point dan menyempit menjadi 0,10 point tiga tahun kemudian. Jika situasi ini terus berlanjut, maka angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan akan tampak semakin baik dibandingkan dengan angka Nasional. Kondisi semacam ini akan memberi dampak positif terhadap peningkatan IPM Sulawesi Selatan, baik secara absolut maupun relatif. 
þ  Dibandingkan dengan dua indikator sebelumnya, indikator angka melek huruf menunjukkan kinerja yang paling mengkhawatirkan, bukan hanya karena memiliki kesenjangan yang sangat tajam dengan angka Nasional, tetapi juga bergerak naik sangat lamban. Pada tahun 2010, angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas di Sulawesi Selatan hanya sebesar 87,75 persen. Artinya, setiap delapan penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya buta huruf. Meskipun angka ini sudah lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun angka tersebut masih berada jauh di bawah angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah berada di angka 92,91 persen. Artinya, secara Nasional, setiap 14 penduduk hanya satu diantaranya yang buta huruf. Secara absolut, angka melek huruf Sulawesi Selatan juga meningkat sangat lamban, yaitu dari 86,28 persen pada tahun 2007 menjadi 87,75 persen pada tahun 2010, atau hanya bergerak naik 1,47 point. Sedangkan secara relatif, angka melek huruf Sulawesi Selatan menempati posisi ketiga terendah secara Nasional, sesudah Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Kondisi ini telah menekan IPM Sulawesi Selatan ke level yang rendah, baik secara absolut maupun relatif. 
þ  Daya beli yang diproksi dengan pengeluaran rata-rata per kapita sebulan, meskipun menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun masih berada di bawah angka rata-rata nasional. Pada tahun 2007, pengeluaran rata-rata per kapita sebulan hanya sebesar Rp 291.900, dan kemudian meningkat menjadi Rp 461.810 pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata sekitar 16,74 persen per tahun. Pada periode yang sama, Nasional hanya bergerak naik rata-rata 11,90 persen per tahun. Situasi ini cukup positif bagi Sulawesi Selatan karena akan memperbaiki IPM Sulawesi Selatan, baik secara absolut maupun relatif. 
Berbarengan dengan itu, pendapatan (PDRB) per kapita juga memperlihatkan peningkatan. Pada tahun 2007, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan mencatat angka Rp 9,00 juta, dan kemudian meningkat menjadi Rp 14,67 juta pada tahun 2010 atau mengalami peningkatan rata-rata 16,47 persen per tahun. Namun jika dikomparasikan dengan Nasional, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan jauh berada di bawah. Bahkan pendapatan per kapita Sulawesi Selatan hanya sekitar setengah dari angka Nasional. Kondisi ini hampir tidak mengalami perubahan berarti dalam lima tahun terakhir. Meski demikian, laju pertumbuhan pendapatan per kapita Sulawesi Selatan bergerak sedikit lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan per kapita Nasional. Implikasinya, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan akan terus berada di bawah angka Nasional untuk jangka waktu yang lama, namun dengan jarak (gap) yang semakin menyempit.
Skenario Peningkatan IPM
Bila capaian kinerja angka harapan hidup, angka rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, dan daya beli dapat diakselerasi dalam empat tahun ke depan (2012-2015), maka pencapaian posisi IPM Sulawesi Selatan pada peringkat di bawah 15 pada tahun 2015 masih sangat dimungkinkan. Namun untuk berada pada posisi 10 besar, tampaknya sangat sulit dan hampir tidak mungkin untuk dicapai dalam rentang waktu empat-lima tahun ke depan. Sebab, pencapaian posisi relatif yang lebih baik meniscayakan perubahan yang akseleratif, sambil berharap provinsi lainnya bergerak secara gradual atau stagnan.
Untuk meraih posisi relatif yang lebih baik, nilai absolut IPM Sulawesi Selatan harus meningkat minimum 1,25 point setiap tahun. Jika diasumsikan bahwa IPM rata-rata Nasional akan bergerak secara gradual seperti saat ini (rata-rata hanya 0,55 point per tahun), maka peningkatan sebesar itu akan memungkinkan Sulawesi Selatan untuk meraih posisi satu atau dua tingkat lebih baik setiap tahunnya.
Pertanyaannya kemudian, untuk meningkatkan 1,25 point IPM Sulawesi Selatan per tahun, dimensi mana dari tiga dimensi komposit IPM yang memungkinkan untuk dinaikkan secara akseleratif dan secara kebijakan relatif lebih mudah diimplementasikan.
Berdasarkan hasil analisis terhadap capaian IPM Sulawesi Selatan, dimensi pendidikan tampaknya harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Peningkatan angka melek huruf harus dijadikan sebagai fokus dan orientasi kebijakan. Alasannya, dimensi ini relatif jauh lebih mudah ditangani atau diintervensi ketimbang dimensi lainnya, karena dimensi ini berbasis keluaran (output based). Angka melek huruf yang relatif rendah juga memberi ruang intervensi yang lebih longgar. Selain itu, penyebaran penduduk yang tidak melek huruf (buta huruf) tampaknya sudah teridentifikasi hingga level desa/kelurahan sehingga memudahkan untuk melakukan intervensi. Jika angka melek huruf dapat dinaikkan menjadi sama atau paling tidak mendekati angka rata-rata nasional di tahun 2015 dan dimensi lainnya cukup bergerak secara gradual, maka IPM Sulawesi Selatan akan meningkat sebesar 5 s/d 6 point. Peningkatan ini akan memposisikan Sulawesi Selatan pada peringkat 15 – 16 secara Nasional dalam empat-lima tahun yang akan datang.
Desain Skenario Peningkatan IPM Sulawesi Selatan

Dimensi
Indikator
Desain
Pertumbuhan
Kenaikan
Per Tahun
Target
2015
Kesehatan
Angka Harapan Hidup
Gradual
0,2 - 0,3 point
72,1 tahun
Pendidikan
Angka Melek Huruf
Akseleratif
1,2 – 1,3 point
94,0 persen

Rata-Rata Lama Sekolah
Akseleratif
0,25 – 0,35
point
9,3 tahun
Daya Beli
Pengeluaran per kapita sebulan
Gradual
13 – 15 persen
Rp 900.000

Dimensi kedua adalah meningkatkan angka rata-rata lama sekolah. Dimensi ini relatif lebih sulit dibandingkan dengan dimensi angka melek huruf karena berbasis pada hasil (outcomes based). Dengan kata lain, keberhasilan pencapaian dimensi ini ditentukan oleh beragam faktor, yang seringkali berada diluar kendali pemerintah. Namun demikian, meningkatkan angka rata-rata lama masih relatif lebih mudah ketimbang meningkatkan angka harapan hidup dan pengeluaran rata-rata per kapita. Jika angka rata-rata lama sekolah dapat dinaikkan sebesar 0,25 s/d 0,35 point per tahun, maka kenaikan tersebut akan memberi dampak besar bagi peningkatan angka dan posisi relatif IPM Sulawesi Selatan.
Upaya memperbaiki dimensi dan indikator pendidikan menjadi tampak lebih mudah karena kebijakan pembangunan daerah Sulawesi Selatan dewasa ini telah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Menyertai kebijakan tersebut, alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, bukan hanya memiliki porsi yang cukup signifikan dalam struktur APBD, tetapi juga memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Anggaran yang bersumber dari APBN, untuk membiayai sektor pendidikan di Sulawesi Selatan, juga menunjukkan angka yang relatif cukup besar dengan trend yang meningkat dari tahun ke tahun.
Jika kedua indikator pendidikan, yaitu angka melek huruf dan angka rata-rata lama sekolah, dapat bertumbuh secara akseleratif, dan pada saat yang sama, indikator angka harapan hidup dan indikator daya beli dapat bertumbuh secara gradual, maka diharapkan nilai IPM Sulawesi Selatan dapat berada di kisaran angka 77 point dan secara relatif berada pada posisi di bawah 15 secara nasional dalam empat-lima tahun ke depan.
Strategi Peningkatan IPM
Dalam jangka pendek, strategi peningkatan IPM Sulawesi Selatan harus bertumpu dan berfokus pada dimensi pendidikan, terutama memperbaiki angka melek huruf dan meningkatkan angka rata-rata lama sekolah. Kedua indikator tersebut harus diupayakan bergerak secara akseleratif.
Untuk memperbaiki indikator rata-rata lama sekolah, sedikitnya ada lima perspektif yang harus dikembangkan untuk mendesain strategi intervensi, yaitu: (1) bagaimana memastikan bahwa anak-anak yang sementara duduk di bangku sekolah tetap bisa bersekolah; (2) bagaimana menarik anak-anak yang putus sekolah untuk kembali duduk di bangku sekolah; (3) bagaimana ”memaksa” anak-anak yang terpaksa bekerja - karena alasan ekonomi keluarga - untuk berhenti bekerja dan kembali ke bangku sekolah; (4) bagaimana agar layanan pendidikan benar-benar sanggup menjangkau seluruh anak usia sekolah, termasuk yang berada di wilayah terpencil dan terisolir sekalipun; dan (5) bagaimana melahirkan kesadaran kolektif di kalangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan, terutama pendidikan lanjutan.
Untuk meningkatkan indikator angka melek huruf, perspektif harus diarahkan pada: (1) bagaimana mendorong orang-orang yang buta huruf agar termotivasi untuk belajar menulis dan membaca: (2) merubah bentuk fasilitasi dari suasana “kelas” yang cenderung formal menjadi hubungan personal yang bersifat informal dan interaktif; (3) “merawat” kemampuan baca-tulis orang yang sudah melek huruf yang sebelumnya buta huruf; (4) mendorong keterlibatan berbagai elemen masyarakat untuk terlibat dalam upaya pemberantasan buta huruf; dan (5) menjadikan pemberantasan buta huruf sebagai sebuah “gerakan” yang berbasis desa/kelurahan dengan model intervensi by name by address.
Pada tingkatan strategi, sedikitnya ada lima strategi yang dapat dikembangkan, antara lain; (1) melakukan pemetaan jumlah penyandang buta aksara secara tepat dan akurat; (2) memperluas informasi dan sosialisasi tentang pentingnya melek huruf; (3) memberdayakan sekolah non-formal melalui kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM); (4) mengembangkan program pendidikan membaca secara inovatif melalui kegiatan di luar sekolah; dan (5) menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, LSM dan lembaga-lembaga internasional.
Pada tingkatan lokus, upaya pemberantasan buta huruf harus diarahkan pada daerah-daerah dengan tingkat angka melek huruf yang rendah, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Wajo. Rendahnya angka melek huruf di daerah ini tampaknya paralel dan simetris dengan angka rata-rata lama sekolah yang juga relatif rendah. Oleh karena itu, daerah-daerah ini seyogyanya ditempatkan sebagai daerah sasaran dan lokus utama kebijakan pendidikan di Sulawesi Selatan.
Dalam jangka menengah dan panjang, strategi utama untuk meningkatkan pendapatan atau pengeluaran per kapita harus difokuskan pada dua aspek utama, yaitu: pertama, menjaga dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan harus dijaga agar tetap berada di kisaran 8 s/d 9 persen per tahun dan senantiasa berada di atas angka pertumbuhan ekonomi Nasional. Pertumbuhan ekonomi sebesar 8,03 persen yang dicapai pada tahun 2010, merupakan pertumbuhan ekonomi ketiga tertinggi secara Nasional sesudah Provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Jika capaian ini mampu dipertahankan secara konsisten, maka posisi relatif Sulawesi Selatan secara Nasional akan terkoreksi secara signifikan.
Sediktnya ada tiga agenda utama untuk mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, yaitu: (1) meningkatkan arus investasi, baik asing maupun domestik, melalui implementasi berbagai kebijakan seperti promosi investasi, pengembangan kemitraan, insentif fiskal, reformasi birokrasi, dsb.; (2) meningkatkan belanja pemerintah pada sektor infrastruktur, terutama yang menunjang aktivitas perekonomian, seperti jalanan, pelabuhan, pergudangan, irigasi, dsb.; (3) memberi perhatian terhadap sektor-sektor ekonomi yang memiliki elastisitas tinggi bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja, seperti sektor industri manufaktur, pertambangan, dsb.
Kedua, mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan harus ditekan sedemikian rupa sehingga berada di bawah satu persen per tahun. Meskipun hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan selama 10 tahun terakhir rata-rata hanya 1,17 persen per tahun dan berada di bawah angka rata-rata nasional (1,49% per tahun), namun angka tersebut masih perlu ditekan ke level yang lebih rendah. Ini diperlukan agar pertumbuhan ekonomi dapat memberi dampak yang lebih berarti bagi perbaikan taraf hidup masyarakat yang diindikasikan oleh peningkatan pendapatan atau pengeluaran per kapita.
Meningkatkan angka harapan hidup merupakan upaya yang paling sulit dari seluruh dimensi IPM. Peningkatan angka harapan hidup dipengaruhi oleh begitu banyak faktor yang saling berinteraksi satu sama lain. Sejumlah faktor yang diidentifikasi berkontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidupnya, antara lain, membaiknya perawatan kesehatan, meningkatnya akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan, tersedianya sarana dan prasarana kesehatan secara luas dan merata, membaiknya pemahaman dan kemampuan memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, membaiknya kualitas dan sanitasi lingkungan, meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan, meningkatnya daya beli masyarakat, dan sebagainya.
Terakhir, penting untuk ditegaskan bahwa strategi peningkatan IPM Sulawesi Selatan membutuhkan keterlibatan berbagai stakeholder. Sebagai indeks komposit, IPM terdiri atas sejumlah dimensi dan indikator, dan sebagian dari dimensi dan indikator tersebut bersifat outcomes based. Dengan kata lain, perbaikan dimensi dan indikator tersebut tidak mungkin bisa dicapai dengan program tunggal dan juga aktor tunggal (baca: pemerintah). Implikasinya, di masa depan, perlu dibangun dan dikembangkan sinergitas antar level pemerintahan dan antar SKPD serta kolaborasi antar pelaku/aktor pembangunan.


Makassar, Agustus 2011

0 comments:

Posting Komentar