Jumat, 02 Maret 2012

Pembangunan Kawasan


KAWASAN TIMUR INDONESIA
DAN PARADOKS KESEJAHTERAAN

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Simpul Perencana Pusbindikltren BAPPENAS) 

Agussalim


Masalah ketimpangan pembangunan antara KBI dan KTI terus aktual dan memicu ketidakpuasan. Mencuatnya kembali isu ini di berbagai forum nasional, terutama di forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), kian menegaskan bahwa masalah ini masih jauh dari kata selesai. Pertanyaannya kemudian, mengapa orang-orang KTI terus mempersoalkan secara intens masalah ini? Bukankah secara absolut, pembangunan KTI sesungguhnya telah mengalami banyak kemajuan? 

Dalam 10 tahun terakhir misalnya, PDRB riil telah meningkat hampir dua kali lipat. APBD telah bertumbuh rata-rata di atas 15 persen per tahun. Pendapatan per kapita saat ini sudah lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Jumlah penduduk miskin berkurang hampir setengah selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Usia harapan hidup telah merambat naik dari 64,3 tahun pada 2000 menjadi 70,12 tahun pada 2010. Sekitar 95 persen anak-anak yang berumur 7 s/d 12 tahun sudah menduduki bangku sekolah dasar, padahal 10 tahun yang lalu masih berada di bawah 85 persen.
Namun, mengapa seluruh kemajuan tersebut cenderung diabaikan oleh orang-orang KTI dan seolah-olah tidak memberi impresi apa-apa? Robert Frank, seorang ekonom dari Universitas Cornell Amerika Serikat mungkin bisa membantu untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut Frank (2004), bila orang-orang melihat ke sekelilingnya dan menemukan bahwa orang lain memiliki barang-barang konsumsi yang sama atau lebih baik, mereka mungkin pada akhirnya merasa kurang bahagia dibandingkan sebelumnya. Dengan demikian, kebahagian mungkin lebih ditentukan oleh kekayaan atau pendapatan relatif daripada kekayaan atau pendapatan absolut (Graham dan Pettinato, 2002).
Asumsi selama ini yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan absolut adalah penentu utama kesejahteraan ternyata tidak sepenuhnya benar. Hasil survei yang dilakukan secara konsisten, memperlihatkan bahwa ketika pendapatan semua orang bertumbuh pada tingkat yang sama, tingkat rata-rata kebahagiaan tetap sama. Namun pada saat tertentu, ketika pola kenaikan pendapatan berlangsung secara asimetris, orang-orang yang mengalami kenaikan pendapatan lebih cepat merasa lebih bahagia, dan sebaliknya, yang lebih lambat merasa tidak bahagia. Temuan ini kembali menegaskan bahwa pendapatan relatif jauh lebih baik sebagai prediktor kesejahteraan ketimbang pendapatan absolut.
Dengan demikian, kemajuan, terutama yang bersifat absolut, menjadi tidak begitu membahagiakan. Kemajuan yang lebih baik yang dicapai orang lain, menyebabkan mereka tidak menyadari betapa baiknya kondisi mereka sekarang dibandingkan dengan sebelumnya. Fenomena ini yang kemudian oleh Easterbrook (2003) disebut sebagai progress paradox (paradoks kesejahteraan).
Boleh jadi, orang-orang KTI mengalami semacam paradoks kesejahteraan. Pembangunan bandar udara di Merauke menjadi tidak terlalu membahagiakan ketika mereka menyaksikan kemewahan pembangunan jembatan suramadu yang menelan anggaran Rp 5 trilyun. Alokasi dana otonomi khusus untuk Papua sebesar Rp 3,1 trilyun dan Papua Barat sebesar Rp 1,3 trilyun menjadi tidak tampak istimewa ketika mereka mendengar rencana pembangunan jembatan di atas selat sunda (menghubungkan pulau jawa dengan pulau sumatera) yang diperkirakan mencapai Rp 100 trilyun. Laju kenaikan PDRB KTI meski sudah tampak cukup bagus, namun menjadi tidak berarti ketika melihat kontribusinya terhadap pembentukan PDB Nasional hanya 8,7 persen, sedangkan 91,3 persen dikontribusi oleh KBI. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memperlihatkan trend meningkat secara konsisten, namun menjadi tidak bermakna ketika melihat data bahwa dari 12 provinsi di KTI, 11 diantaranya berada di bawah IPM nasional.  Jumlah rumah tangga yang menikmati energi listrik di KTI terus bertambah, tetapi menjadi tidak bahagia ketika menemukan fakta bahwa pasokan listrik nasional yang diperuntukkan untuk KTI kurang dari delapan persen, sedangkan Jawa-Bali 81,59 persen dan Pulau Sumatera 11,6 persen.
Jika kemajuan relatif menjadi sumbu pemicu ketidakpuasan dan menjadi parameter utama kesejahteraan, maka seyogyanya seluruh kebijakan pembangunan nasional harus didesain sedemikian rupa untuk mereduksi celah ketimpangan. Apa yang kemudian ditunjukkan oleh RPJM-Nasional, tampaknya masih jauh dari harapan. Di dalam dokumen tersebut, memang disebutkan secara eksplisit bahwa telah terjadi ketimpangan pembangunan antar kawasan. Ada pengakuan bahwa capaian pembangunan di KTI relatif tertinggal dibandingkan dengan KBI. Namun hal ini tampaknya baru sebatas “kesadaran” dan belum menjadi sebuah “ideologi” pembangunan. Formulasi strategi, kebijakan, dan program yang ada di dalam RPJM Nasional tampak jelas belum menunjukkan pemihakan yang konkrit dan tegas terhadap KTI. Dengan kata lain, desain kebijakan pemerintah pusat yang tertuang di dalam RPJM Nasional hanya akan mendorong kemajuan di KTI secara absolut, tapi tidak secara relatif.
Kemajuan relatif hanya dimungkinkan jika pembangunan KTI mengalami akselerasi dan lompatan. Pembangunan yang berlangsung secara gradual di KTI dengan akselerasi yang lebih lambat dibandingkan dengan KBI, sesungguhnya dapat dimaknakan sebagai bentuk pemeliharaan atas ketimpangan.
Upaya pertama untuk mendorong kemajuan relatif di KTI adalah menggenjot pembangunan infrastruktur dasar, terutama jalan dan jembatan, jaringan transportasi, energi listrik, air bersih, serta komunikasi dan telekomunikasi. Politik anggaran pemerintah perlu didesak untuk lebih berpihak ke KTI. Kebijakan berbeda, bahkan diskriminatif, harus segera diimplementasikan. Penerapan insentif khusus di bidang perpajakan dan suku bunga pinjaman bagi investor di KTI misalnya, merupakan sebuah instrumen penting untuk mendorong percepatan pembangunan di KTI. Kebijakan diskriminatif semacam ini, untuk kasus berbeda, telah dipraktekkan oleh Bappenas. Untuk meningkatkan kualitas SDM dan memberi peluang yang lebih besar kepada orang KTI untuk mengikuti pendidikan lanjutan, Bappenas telah menerapkan standar berbeda untuk orang KBI dan KTI. Misalnya, untuk memperoleh beasiswa Bappenas, orang KBI harus memperoleh hasil ujian Tes Potensi Akademik (TPA) dan TOEFl minimum 550 dan 500, sedangkan orang KTI cukup 500 dan 450.
Lebih dari itu, secara konseptual, pembangunan KTI harus dipandang dalam aspek dan dimensi yang luas. Bahwa membangun KTI tidak hanya sekedar mengangkat keterbelakangan wilayah dan masyarakat KTI, akan tetapi juga harus ditempatkan dalam kerangka pembangunan sebuah “rumah besar” yang bernama Indonesia. Bukankah berbagai indikator pembangunan secara nasional menjadi tampak buruk karena “ditarik turun” oleh kinerja pembangunan KTI? Bukankah sejak lama di beberapa wilayah KTI sudah muncul semacam sentimen “ketimuran” yang telah mengganggu stabilitas nasional dan mengakibatkan turunnya citra Indonesia dimata internasional?
Mendorong kemajuan abolut di KTI tetap penting, namun yang jauh lebih penting adalah mendorong kemajuan relatif. Sebab, jika tidak, orang-orang KTI tidak akan pernah berhenti “berteriak”. Ini menyangkut soal “keindonesiaan”.