Rabu, 01 Oktober 2014

Advokasi Hasil Kajian



MENGEFEKTIFKAN ADVOKASI HASIL KAJIAN:
Sebuah Refleksi

Agussalim
Peneliti Senior P3KM UNHAS dan Focal Point JiKTI Sulsel

Di ranah advokasi kebijakan, pertanyaan yang kerapkali mengganggu adalah mengapa hasil-hasil kajian tidak menjadi basis dalam perumusan kebijakan publik? Mengapa para pengambil kebijakan tidak tertarik untuk menggunakan hasil-hasil kajian sebagai input kebijakan dan justru lebih mengutamakan usulan publik yang disalurkan melalui forum-forum aspirasi (musrenbang, konsultasi publik, reses, dll.)? Mengapa tradisi perumusan kebijakan berbasis fakta (evidence based policy making) sulit sekali berkembang di kalangan para pengambil kebijakan?
Munculnya berbagai pertanyaan tersebut mudah dipahami jika kita mengamati fenomena yang sedang berlangsung. Para peneliti dan para pengambil kebijakan seolah-olah hidup di dua dunia yang berbeda dan terpisah. Di satu sisi, para peneliti sibuk dengan dunianya sendiri: mulai dari menulis proposal, merancang instrumen penelitian, melakukan survei, mengumpulkan data, menulis laporan, melaksanakan seminar hasil penelitian, hingga mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal ilmiah. Seringkali di dunia para peneliti, publikasi di jurnal ilmiah, terutama jurnal akreditasi, dianggap sebagai pencapaian tertinggi, prestasi puncak dan tujuan akhir dari seluruh proses penelitian. Tak jarang, hasil-hasil penelitian hanya memenuhi rak-rak buku, tersimpan di laci-laci berdebu, dan mengendap di hard-disk komputer.
Di dunia lain, para pengambil kebijakan juga sibuk dengan dunianya sendiri: mulai dari mendesain rencana, merancang program, menyusun kegiatan, mengalokasikan anggaran, dan kemudian mengimplementasikannya. Tetapi apa yang terjadi kemudian, tidak jarang muncul berbagai masalah: program dan kegiatan yang dilaksanakan tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat. Seringkali terjadi asimetri antara masalah yang dihadapi publik dengan anggaran yang dialokasikan. Cerita-cerita mengenai program yang tidak tepat sasaran, kegiatan-kegiatan yang mubazir, sudah telalu sering kita dengarkan.
Fakta di atas melahirkan tantangan menggoda: tidak bisakah dua dunia yang terpisah itu disinergikan? Tidak bisakah dua dunia yang berbeda secara diametral tersebut diintegrasikan? Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (disingkat JiKTI), tanpa pretensi, dalam beberapa tahun terakhir telah mencoba menjembatani dunia perencana dengan dunia pengambil kebijakan. JiKTI berusaha mengambil peran untuk memproduksi dan mengkonsolidasikan hasil-hasil kajian untuk selanjutnya diadvokasikan kepada para pengambil kebijakan. Itulah sebabnya, salah satu Misi utama JiKTI – sebagaimana tertuang di dalam Rencana Strategis JiKTI - adalah mendorong dan mengembangkan tradisi evidence based policy making di kalangan para pengambil kebijakan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebagai sebuah gerakan yang baru seumur jagung, tentu saja upaya ini belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai peneliti dan focal point JiKTI Sulawesi Selatan, dalam beberapa tahun terakhir, saya telah menghasilkan beberapa produk pengetahuan, terutama dalam bentuk hasil penelitian, kajian, dan risalah kebijakan. Tidak semua produk pengetahuan yang saya hasilkan, dapat saya advokasikan. Dan cerita tragisnya: tidak semua yang saya advokasikan itu sepenuhnya berhasil, untuk tidak mengatakannya gagal. Beberapa produk pengetahuan yang telah saya hasilkan dan advokasikan kepada para pengambil kebijakan, antara lain: (1) Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Gorontalo; (2) Pengelolaan Keuangan Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan; (3) Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Sulawesi Selatan; dan (4) Perencanaan Berbasis Data di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat.
Secara subjektif, proses advokasi yang saya nilai cukup berhasil adalah upaya pengentasan kemiskinan di Provinsi Gorontalo dan perencanaan berbasis data di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Di Provinsi Gorontalo, selama beberapa bulan, saya telah mendampingi Bappeda dan menfasilitasi forum lintas SKPD dalam mendesain program dan kegiatan untuk pengentasan kemiskinan. Kejadian tersebut berlangsung pada tahun 2010 ketika angka kemiskinan di Provinsi Gorontalo mengalami peningkatan. Meskipun tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai keberhasilan proses advokasi, namun faktanya, angka kemiskinan pada beberapa tahun berikutnya cenderung menurun.
Secara khusus, saya ingin menyebutkan bahwa proses advokasi di Kabupaten Polewali Mandar menunjukkan kemajuan yang berarti karena adanya minat yang besar dan antusiasme dari para pengambil kebijakan di daerah tersebut. Risalah kebijakan yang telah saya advokasikan kepada pemerintah Kabupaten Polewali Mandar telah ditindak-lanjuti ke dalam berbagai program dan kegiatan, diantaranya penyusunan sistem data pokok perencanaan pembangunan daerah, survey kondisi sosial ekonomi masyarakat, penyusunan master plan pendidikan, pengkoordinasian penanganan kemiskinan, pengkoordinasian strategi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dsb.
Untuk poses advokasi yang dapat dinilai berhasil, setidaknya telah melahirkan perubahan positif di lingkungan para pengambil kebijakan. Perubahan positif dimaksud, antara lain: (1) meningkatnya kesadaran dan antusiasme para pengambil kebijakan terhadap isu-isu kebijakan yang disampaikan; (2) para pengambil kebijakan menindaklanjuti rekomendasi kebijakan ke dalam berbagai formulasi program, kegiatan dan rencana-rencana aksi; dan (3) kesediaan para pengambil kebijakan untuk didampingi dalam proses formulasi dan implementasi rencana-rencana aksi. Kesemuanya ini tampaknya merupakan peluang-peluang yang menjanjikan di masa depan terkait dengan kegiatan advokasi.
Proses menyebarluaskan hasil kajian dan melakukan advokasi, saya lakukan melalui berbagai cara, antara lain: (1) menyusun ringkasan hasil penelitian atau membuat risalah kebijakan; (2) mempublikasikan ringkasan hasil penelitian dan risalah kebijakan tersebut melalui blog pribadi, website, koran, dan majalah; (3) mendiseminasikan hasil-hasil penelitian ke berbagai stakeholder kunci, melalui kegiatan road-show ke daerah, workshop, dan dialog publik (news cape BaKTI); (4) melakukan konferensi pers dan menerima wawancara dengan media massa; (5) merancang pertemuan dengan para pengambil kebijakan kunci; dan (6) mendampingi para pengambil kebijakan dalam mendesain, memfomulasi, dan mengimplementasikan rencana-rencana aksi.
Secara umum, proses mengadvokasikan hasil-hasil kajian kepada para pengambil kebijakan ternyata tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Terdapat begitu banyak tantangan, namun jika tantangan tersebut bisa kita atasi, maka peluang keberhasilannya menjadi sangat besar. Tantangan-tantangan dimaksud, antara lain:
Pertama, kemampuan untuk memilih “isu-isu yang menarik dan seksi”, baik bagi para pengambil kebijakan maupun bagi publik. Para advokator harus memiliki kepekaan untuk  menemukan isu-isu yang menimbulkan minat dan membuat para pengambil kebijakan tertarik dan antusias. Hingga saat ini, isu-isu penanggulangan kemiskinan, pengentasan anak jalanan dan gelandangan, perbaikan kualitas manusia, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, tetap merupakan isu-isu yang diminati oleh para pengambil kebijakan.
Kedua, para pengambil kebijakan seringkali lebih berfokus pada “siapa yang menyampaikan” ketimbang “apa yang disampaikan”. Persepsi pengambil kebijakan terhadap figur advokator  seringkali menjadi faktor penentu keberhasilan proses advokasi. Ketika pengambil kebijakan tidak lagi meragukan kapasitas dan kapabilitas sang advokator, substansi kebijakan yang diadvokasikan akan memperoleh tempat dan mendapatkan perhatian penuh.
Ketiga, proses advokasi tampaknya akan jauh lebih mudah jika sudah ada “hubungan” yang terbangun, sebelum proses advokasi dimulai. Ikatan kekerabatan-sosial dan emosional yang terjalin jauh sebelum proses advokasi dilakukakan seringkali menjadi faktor yang membuka dan memuluskan jalan bagi proses advokasi.
Keempat, rekomendasi kebijakan juga harus disampaikan secara “lisan”, melengkapi penyampaian secara “tertulis”. Para advokator harus memahami dua kondisi yang dialami oleh para pengambil kebijakan, yaitu: (1) tidak memiliki waktu yang cukup untuk membaca hasil-hasil kajian, sekalipun sudah dalam bentuk ringkasan eksekutif (executive summary); dan (2) lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan secara lisan ketimbang secara tertulis. Cara ini juga seringkali diinginkan oleh para pengambil kebijakan untuk membangun dialog guna memperjelas pesan yang disampaikan.
Kelima, rekomendasi kebijakan harus bermain di level “kegiatan”, bukan level ‘kebijakan”. Dengan kata lain, rekomendasi kebijakan harus ‘operasional” dan sebaiknya “tidak normatif”. Para pengambil kebijakan cenderung mengabaikan rekomendasi kebijakan yang bersifat verbal dan normatif. Ini mudah dipahami, karena rekomendasi kebijakan semacam itu masih menuntut elaborasi lebih lanjut dari pengambil kebijakan, sesuatu yang seringkali dihindari oleh para pengambil kebijakan. Terlalu sering kita dengarkan ucapan yang keluar dari mulut para pengambil kebijakan: “beritahu saya apa yang harus saya lakukan”. Ucapan ini lebih berkonotasi “kegiatan-operasional” ketimbang “kebijakan-normatif”.
Keenam, seluruh rekomendasi kebijakan dan desain program harus tampak simple dalam ‘implementasi”. Para pengambil kebijakan cenderung menghindari rekomendasi kebijakan yang rumit, kompleks, melibatkan banyak pihak, membutuhkan anggaran besar, dan berdimensi jangka panjang.  Rekomendasi kegiatan berupa pemberian susu gratis pada saat gerak jalan santai misalnya, lebih cepat direspon oleh para pengambil kebijakan ketimbang rekomendasi kebijakan mengenai penanganan gizi buruk misalnya.
*) Tulisan ini merupakan pengembangan dari "cerita" yang disampaikan pada acara "Berbagi Inspirasi dan Pengalaman" dalam rangka Perayaan Ulang Tahun Yayasan BaKTI, di Hotel Clarion Makassar, 23 September 2014.