Rabu, 01 Oktober 2014
Advokasi Hasil Kajian
19.43
Sosial
MENGEFEKTIFKAN ADVOKASI HASIL KAJIAN:
Sebuah Refleksi
Agussalim
Peneliti
Senior P3KM UNHAS dan Focal Point JiKTI Sulsel
Di
ranah advokasi kebijakan, pertanyaan yang kerapkali mengganggu adalah mengapa
hasil-hasil kajian tidak menjadi basis dalam perumusan kebijakan publik?
Mengapa para pengambil kebijakan tidak tertarik untuk menggunakan hasil-hasil
kajian sebagai input kebijakan dan justru lebih mengutamakan usulan publik yang
disalurkan melalui forum-forum aspirasi (musrenbang, konsultasi publik, reses,
dll.)? Mengapa tradisi perumusan kebijakan berbasis fakta (evidence based policy making) sulit sekali berkembang di kalangan
para pengambil kebijakan?
Munculnya
berbagai pertanyaan tersebut mudah dipahami jika kita mengamati fenomena yang
sedang berlangsung. Para peneliti dan para pengambil kebijakan seolah-olah
hidup di dua dunia yang berbeda dan terpisah. Di satu sisi, para peneliti sibuk
dengan dunianya sendiri: mulai dari menulis proposal, merancang instrumen penelitian,
melakukan survei, mengumpulkan data, menulis laporan, melaksanakan seminar
hasil penelitian, hingga mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal ilmiah. Seringkali
di dunia para peneliti, publikasi di jurnal ilmiah, terutama jurnal akreditasi,
dianggap sebagai pencapaian tertinggi, prestasi puncak dan tujuan akhir dari
seluruh proses penelitian. Tak jarang, hasil-hasil penelitian hanya memenuhi
rak-rak buku, tersimpan di laci-laci berdebu, dan mengendap di hard-disk
komputer.
Di dunia lain,
para pengambil kebijakan juga sibuk dengan dunianya sendiri: mulai dari mendesain
rencana, merancang program, menyusun kegiatan, mengalokasikan anggaran, dan
kemudian mengimplementasikannya. Tetapi apa yang terjadi kemudian, tidak jarang
muncul berbagai masalah: program dan kegiatan yang dilaksanakan tidak selaras dengan
kebutuhan masyarakat. Seringkali terjadi asimetri antara masalah yang dihadapi
publik dengan anggaran yang dialokasikan. Cerita-cerita mengenai program yang
tidak tepat sasaran, kegiatan-kegiatan yang mubazir, sudah telalu sering kita
dengarkan.
Fakta di atas
melahirkan tantangan menggoda: tidak bisakah dua dunia yang terpisah itu
disinergikan? Tidak bisakah dua dunia yang berbeda secara diametral tersebut diintegrasikan?
Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (disingkat JiKTI), tanpa pretensi, dalam
beberapa tahun terakhir telah mencoba menjembatani dunia perencana dengan dunia
pengambil kebijakan. JiKTI berusaha mengambil peran untuk memproduksi dan
mengkonsolidasikan hasil-hasil kajian untuk selanjutnya diadvokasikan kepada
para pengambil kebijakan. Itulah sebabnya, salah satu Misi utama JiKTI –
sebagaimana tertuang di dalam Rencana Strategis JiKTI - adalah mendorong dan
mengembangkan tradisi evidence based policy making di kalangan para
pengambil kebijakan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebagai sebuah gerakan
yang baru seumur jagung, tentu saja upaya ini belum menunjukkan hasil yang
signifikan.
Sebagai peneliti dan focal point JiKTI Sulawesi Selatan, dalam beberapa
tahun terakhir, saya telah menghasilkan beberapa produk pengetahuan, terutama
dalam bentuk hasil penelitian, kajian, dan risalah kebijakan. Tidak semua
produk pengetahuan yang saya hasilkan, dapat saya advokasikan. Dan cerita
tragisnya: tidak semua yang saya advokasikan itu sepenuhnya berhasil, untuk
tidak mengatakannya gagal. Beberapa produk pengetahuan yang telah saya hasilkan
dan advokasikan kepada para pengambil kebijakan, antara lain: (1) Pengentasan Kemiskinan
di Provinsi Gorontalo; (2) Pengelolaan Keuangan Daerah di Provinsi Sulawesi
Selatan; (3) Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Sulawesi
Selatan; dan (4) Perencanaan Berbasis Data di Kabupaten Polewali Mandar,
Provinsi Sulawesi Barat.
Secara
subjektif, proses advokasi yang saya nilai cukup berhasil adalah upaya
pengentasan kemiskinan di Provinsi Gorontalo dan perencanaan berbasis data di
Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Di Provinsi Gorontalo,
selama beberapa bulan, saya telah mendampingi Bappeda dan menfasilitasi forum
lintas SKPD dalam mendesain program dan kegiatan untuk pengentasan kemiskinan.
Kejadian tersebut berlangsung pada tahun 2010 ketika angka kemiskinan di
Provinsi Gorontalo mengalami peningkatan. Meskipun tidak bisa sepenuhnya
dianggap sebagai keberhasilan proses advokasi, namun faktanya, angka kemiskinan
pada beberapa tahun berikutnya cenderung menurun.
Secara khusus,
saya ingin menyebutkan bahwa proses advokasi di Kabupaten Polewali Mandar
menunjukkan kemajuan yang berarti karena adanya minat yang besar dan antusiasme
dari para pengambil kebijakan di daerah tersebut. Risalah kebijakan yang telah
saya advokasikan kepada pemerintah Kabupaten Polewali Mandar telah
ditindak-lanjuti ke dalam berbagai program dan kegiatan, diantaranya penyusunan
sistem data pokok perencanaan pembangunan daerah, survey kondisi sosial ekonomi
masyarakat, penyusunan master plan
pendidikan, pengkoordinasian penanganan kemiskinan, pengkoordinasian strategi peningkatan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dsb.
Untuk poses
advokasi yang dapat dinilai berhasil, setidaknya telah melahirkan perubahan
positif di lingkungan para pengambil kebijakan. Perubahan positif dimaksud,
antara lain: (1) meningkatnya kesadaran dan antusiasme para pengambil kebijakan
terhadap isu-isu kebijakan yang disampaikan; (2) para pengambil kebijakan
menindaklanjuti rekomendasi kebijakan ke dalam berbagai formulasi program,
kegiatan dan rencana-rencana aksi; dan (3) kesediaan para pengambil kebijakan
untuk didampingi dalam proses formulasi dan implementasi rencana-rencana aksi. Kesemuanya
ini tampaknya merupakan peluang-peluang yang menjanjikan di masa depan terkait
dengan kegiatan advokasi.
Proses
menyebarluaskan hasil kajian dan melakukan advokasi, saya lakukan melalui
berbagai cara, antara lain: (1) menyusun ringkasan hasil penelitian atau
membuat risalah kebijakan; (2) mempublikasikan ringkasan hasil penelitian dan
risalah kebijakan tersebut melalui blog pribadi, website, koran, dan majalah;
(3) mendiseminasikan hasil-hasil penelitian ke berbagai stakeholder kunci,
melalui kegiatan road-show ke daerah,
workshop, dan dialog publik (news cape BaKTI); (4) melakukan konferensi pers
dan menerima wawancara dengan media massa; (5) merancang pertemuan dengan para
pengambil kebijakan kunci; dan (6) mendampingi para pengambil kebijakan dalam
mendesain, memfomulasi, dan mengimplementasikan rencana-rencana aksi.
Secara umum, proses
mengadvokasikan hasil-hasil kajian kepada para pengambil kebijakan ternyata
tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Terdapat begitu banyak tantangan, namun
jika tantangan tersebut bisa kita atasi, maka peluang keberhasilannya menjadi
sangat besar. Tantangan-tantangan dimaksud, antara lain:
Pertama, kemampuan untuk memilih
“isu-isu yang menarik dan seksi”, baik bagi para pengambil kebijakan maupun bagi
publik. Para advokator harus memiliki kepekaan untuk menemukan isu-isu yang menimbulkan minat dan membuat
para pengambil kebijakan tertarik dan antusias. Hingga saat ini, isu-isu penanggulangan
kemiskinan, pengentasan anak jalanan dan gelandangan, perbaikan kualitas
manusia, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan sarana dan
prasarana ekonomi dan sosial, tetap merupakan isu-isu yang diminati oleh para
pengambil kebijakan.
Kedua, para pengambil kebijakan
seringkali lebih berfokus pada “siapa yang menyampaikan” ketimbang “apa yang
disampaikan”. Persepsi pengambil kebijakan terhadap figur advokator seringkali menjadi faktor penentu
keberhasilan proses advokasi. Ketika pengambil kebijakan tidak lagi meragukan
kapasitas dan kapabilitas sang advokator, substansi kebijakan yang
diadvokasikan akan memperoleh tempat dan mendapatkan perhatian penuh.
Ketiga, proses advokasi tampaknya
akan jauh lebih mudah jika sudah ada “hubungan” yang terbangun, sebelum proses
advokasi dimulai. Ikatan kekerabatan-sosial dan emosional yang terjalin jauh
sebelum proses advokasi dilakukakan seringkali menjadi faktor yang membuka dan memuluskan
jalan bagi proses advokasi.
Keempat, rekomendasi kebijakan juga
harus disampaikan secara “lisan”, melengkapi penyampaian secara “tertulis”.
Para advokator harus memahami dua kondisi yang dialami oleh para pengambil
kebijakan, yaitu: (1) tidak memiliki waktu yang cukup untuk membaca hasil-hasil
kajian, sekalipun sudah dalam bentuk ringkasan eksekutif (executive summary); dan (2) lebih mudah menangkap pesan yang
disampaikan secara lisan ketimbang secara tertulis. Cara ini juga seringkali
diinginkan oleh para pengambil kebijakan untuk membangun dialog guna memperjelas
pesan yang disampaikan.
Kelima, rekomendasi kebijakan harus
bermain di level “kegiatan”, bukan level ‘kebijakan”. Dengan kata lain,
rekomendasi kebijakan harus ‘operasional” dan sebaiknya “tidak normatif”. Para
pengambil kebijakan cenderung mengabaikan rekomendasi kebijakan yang bersifat
verbal dan normatif. Ini mudah dipahami, karena rekomendasi kebijakan semacam
itu masih menuntut elaborasi lebih lanjut dari pengambil kebijakan, sesuatu
yang seringkali dihindari oleh para pengambil kebijakan. Terlalu sering kita
dengarkan ucapan yang keluar dari mulut para pengambil kebijakan: “beritahu
saya apa yang harus saya lakukan”. Ucapan ini lebih berkonotasi “kegiatan-operasional”
ketimbang “kebijakan-normatif”.
Keenam, seluruh rekomendasi
kebijakan dan desain program harus tampak simple dalam ‘implementasi”. Para
pengambil kebijakan cenderung menghindari rekomendasi kebijakan yang rumit,
kompleks, melibatkan banyak pihak, membutuhkan anggaran besar, dan berdimensi
jangka panjang. Rekomendasi kegiatan berupa
pemberian susu gratis pada saat gerak jalan santai misalnya, lebih cepat direspon
oleh para pengambil kebijakan ketimbang rekomendasi kebijakan mengenai penanganan gizi buruk misalnya.
*) Tulisan ini merupakan pengembangan dari "cerita" yang disampaikan pada acara "Berbagi Inspirasi dan Pengalaman" dalam rangka Perayaan Ulang Tahun Yayasan BaKTI, di Hotel Clarion Makassar, 23 September 2014.