Jumat, 05 September 2014
Infrastruktur Sulawesi
18.44
Perencanaan
Pemerintah di Sulawesi Perlu Lebih Banyak Belanja Untuk Infrastruktur*)
Agussalim (Fak. Ekonomi UNHAS) & A. Zaki Fahmi (bekerja di Bank Dunia Jakarta)
Kurang lebih bulan Oktober tahun
lalu, sebuah TV swasta menayangkan sebuah film dokumenter mengenai Daerah Seko,
Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Banyak orang yang takjub dengan
tayangan tersebut, bukan hanya karena alam Seko yang begitu indah, hasil
alamnya yang melimpah, diantaranya kopi yang konon terbaik di Indonesia, tapi
juga karena akses yang begitu sulit untuk menuju daerah tersebut. Butuh waktu
1-2 hari dari ibu kota Kabupaten Luwu Utara menuju daerah tersebut, itupun
harus menggunakan ojek yang konon ongkosnya paling mahal di Indonesia (700 ribu
atau hampir sama dengan setengah bulan UMR Sulsel 2013) dan mengarungi jalan
lebih pantas disebut kubangan lumpur. Akses yang sulit ke Seko bukan hanya
karena bentang alamnya yang bergunung-gunung, namun juga karena sekian lama
infrastruktur jalan ke daerah tersebut tidak pernah dibangun dan dipelihara.
Tentu saja, Seko bukan gambaran wajah
infrastruktur Sulawesi secara keseluruhan, ia hanyalah gambaran karikaturis,
yang memang sengaja digambar lebih jelek dari aslinya tapi tetap menyisakan
kemiripan dengan wajah aslinya. Demikian pula dengan “wajah” infrastruktur di
pulau Sulawesi. Walaupun tidak semuanya buruk seperti jalan ke Seko, hasil
analisis yang dilakukan bersama-sama oleh PSKMP UNHAS dan Bank Dunia dalam
rangka kajian “Diagnostik Pembangunan Sulawesi”, menunjukkan bahwa akses
penduduk Sulawesi kepada infrastruktur utama, yaitu: jalan, listrik, air bersih
dan sanitasi masih berada dibawah rata-rata nasional, walaupun sudah
menunjukkan trend membaik pada dekade terakhir ini. Khusus dalam hal
infrastruktur jalan, selama lima tahun terakhir, panjang jalan di Pulau Sulawesi
tumbuh secara rata-rata 3,94 persen per tahun, sementara pertumbuhan jalan rata-rata
nasional berada pada angka 4,22 persen per tahun. Sementara itu, jumlah
kendaraan bertumbuh rata-rata 27,21 persen per tahun atau meningkat dua
setengah kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Akibatnya, tingkat kepadatan jalan bertambah dari 40,3 unit kendaraan
per Km (2007) menjadi rata-rata 87,5 unit kendaraan per Km (2011). Disisi lain, proporsi jalan berkualitas baik
masih kurang dari setengah dari total panjang jalan di pulau Sulawesi( 42,78
persen).
Analisis tersebut juga menunjukkan
bahwa sebagai akibat masih buruknya infrastruktur di Sulawesi, daya limpas (spillover effect) pertumbuhan ekonomi
perkotaan terhadap pedesaan di Sulawesi relatif lebih lemah dibandingkan dengan
koefisien untuk Indonesia secara keseluruhan. Infrastruktur yang lemah juga
menjadi salah satu penyebab Sulawesi tidak menjadi penerima manfaat utama
kebijakan industrialisasi dan hilirisasi yang saat ini sedang gencar
dilaksanakan pemerintah. Dari setidaknya 7 pabrik pengolahan kakao baru yang
muncul setelah adanya kebijakan bea keluar kakao, mungkin hanya 1 yang
berlokasi di Sulawesi, sementara selebihnya memilih mendirikan pabriknya di
Jawa yang memiliki infrastruktur yang lebih baik. Demikian pula dalam hal
kebijakan larangan ekspor barang tambang mentah yang diharapkan mendorong
industri hilir tambang dalam bentuk pabrik smelter akan terkendala dengan keterbatasan
pasokan listrik. Cadangan daya listrik di daerah Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara
(SULTANBATARA) hanya mencapai 70 MW, sementara menurut Ketua Asosiasi
Pertambangan Indonesia, satu smelter nikel baru membutuhkan sekitar 150-300 MW
(Detik.com, 15/4/2012).
Salah satu kendala yang sering
diungkapkan sebagai kendala pembangunan infrastruktur adalah terbatasnya dana. Mungkin
saja hal itu benar mengingat penerimaan pemerintah daerah per kapita (termasuk
yang didapat dari transfer pusat) di Sulawesi adalah merupakan salah satu yang
terendah di Indonesia. Secara rata-rata
antara tahun 2001-2009, penerimaan daerah per kapita pemerintah daerah di
Sulawesi (Kabupaten/Kota dan Provinsi) adalah sekitar Rp. 526 ribu, jumlah ini merupakan yang terendah diantara
pulau-pulau besar di Indonesia. Di sisi lain, pembiayaan untuk infrastruktur
fisik dari pemerintah pusat melalui dana tugas pembantuan juga relatif sedikit.
Dana Tugas Pembantuan untuk Sulawesi masih lebih rendah dari Kalimantan dan
Sumatra walaupun lebih tinggi dari Jawa/Bali dan Indonesia bagian Timur. Secara
persentase dana tugas pembantuan hanya merupakan 5 persen dari total belanja
infrastruktur di Sulawesi.
Namun demikian, disamping memiliki
penerimaan yang rendah, Pemerintah daerah di Sulawesi secara keseluruhan juga
membelanjakan lebih sedikit anggarannya untuk infrastruktur. Secara rata-rata
dalam periode 2001-2009, porsi belanja infrastruktur (meliputi belanja untuk
jalan/jembatan, air bersih dan sanitasi, pengairan dan belanja bidang pekerjaan
umum lainnya) dalam anggaran pemerintah daerah (kab/kota dan provinsi) di
Sulawesi adalah sekitar 16 persen
sementara untuk rata-rata nasional adalah sekitar 18 persen, sementara yang
tertinggi, pemerintah daerah di Kalimantan membelanjakan sekitar 22 persen dari
total anggarannya untuk infrastruktur. Perlu
dicatat bahwa, beberapa provinsi di Sulawesi memiliki proporsi belanja
infrastruktur yang sudah besar, seperti halnya di Gorontalo dimana proporsi
belanja infrastruktur dalam anggaran pemerintah provinsi secara rata-rata pada
periode 2001-2009 mencapai 24 persen. Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah dan
Barat memiliki proporsi belanja infrastruktur yang relatif lebih tinggi
dibandingkan daerah lain, yaitu masing-masing sebesar 19 dan 18,5 persen.
Telaah atas anggaran di salah satu
pemerintah provinsi di Sulawesi, menunjukkan bahwa jika provinsi tersebut
hendak menaikkan belanja infrastrukturnya dari 14 persen di tahun 2012 menjadi
16 persen sesuai dengan rata-rata nasional proporsi anggaran belanja provinsi,
provinsi tersebut hanya cukup merealokasikan 30 persen dari anggarannya yang
digunakan untuk perjalanan dinas, anggaran makan minum, dan honorarium pegawai
tidak tetap. Sehingga sebetulnya peningkatan proporsi belanja infrastruktur
pemerintah daerah adalah hal yang mungkin, walaupun tentunya ini membutuhkan political will yang kuat dari pemerintah
daerah, karena resistensi dari pihak yang dirugikan tentunya akan cukup kuat.
Namun, tentu saja peningkatan anggaran
pemerintah saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur, apalagi
dalam konteks Sulawesi dimana penerimaan daerah relatif terbatas. Karena itu, pemerintah
daerah juga memerlukan terobosan-terobosan pembiayaan seperti kemitraan
pemerintah dan swasta atau secara populer sering disebut sebagai mengundang
investor untuk membangun infrastruktur, atau bahkan melakukan pinjaman baik
kepada pemerintah pusat, seperti yang telah dilakukan Pemprov Sulawesi Tenggara
dan Selatan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) ataupun kepada bank-bank
komersial. Pinjaman, selama dilakukan terhadap proyek yang memiliki kelayakan ekonomi
dan tidak dikorupsi, bisa saja dilakukan, apalagi mengingat bahwa manfaat
proyek infrastruktur cenderung berumur panjang, sehingga wajar saja apabila
pembiayaannya tidak hanya dibebankan pada anggaran periode sekarang namun
disebarkan dalam bentuk cicilan pada periode-periode yang akan datang.
Sementara, dalam mengundang investor
swasta yang seringkali terlupakan adalah bahwa pihak swasta tentunya memerlukan
tingkat pengembalian yang cukup atas modal yang ditanamkan, sehingga agar
swasta mau berinvestasi, pemerintah tidak hanya cukup melakukan promosi untuk
menjajakan peluang investasi, namun juga perlu melaksanakan perannya dalam
menjalankan fungsi penjaminan dan menutup celah kelayakan (viability gap financing) antara kelayakan keuangan bagi investor
dan kelayakan bagi kepentingan perekonomian secara lebih luas. Di India,
misalnya, pada tahun 2012 pemerintah memberikan subsidi modal awal kepada 145
proyek melalui mekanisme viability gap
financing ini.
Pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur adalah satu keniscayaan jika Sulawesi ingin menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan layanan publik yang merata. Jika
tidak, bisa saja momentum pertumbuhan ekonomi yang belakangan ini berada jauh
diatas rata-rata nasional di Sulawesi akan habis karena kegagalan penyediaan
infrastruktur publik untuk mengejar kebutuhan yang semakin meningkat akibat
pertumbuhan ekonomi.
Kisah daerah Seko seperti diuraikan
diawal tulisan ini menunjukkan kepada kita bahwa akses masyarakat kepada
infrastruktur masih harus digenjot di Sulawesi.
Untuk menggenjotnya, sepertinya masih tersedia ruang bagi
pemerintah-pemerintah daerah di Sulawesi untuk meningkatkan proporsi belanja
infrastrukturnya, dan dengan disertai dengan terobosan pembiayaan lain seperti
melalui kemitraan dengan swasta.
* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tribun Timur beberapa waktu yang lalu. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. Sebagian materi tulisan berdasarkan
hasil Kajian Diagnosa Pembangunan Sulawesi yang saat ini sedang berjalan.