Jumat, 05 September 2014

Infrastruktur Sulawesi


Pemerintah di Sulawesi Perlu Lebih Banyak Belanja Untuk Infrastruktur*)

Agussalim (Fak. Ekonomi UNHAS) & A. Zaki Fahmi (bekerja di Bank Dunia Jakarta)


Kurang lebih bulan Oktober tahun lalu, sebuah TV swasta menayangkan sebuah film dokumenter mengenai Daerah Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Banyak orang yang takjub dengan tayangan tersebut, bukan hanya karena alam Seko yang begitu indah, hasil alamnya yang melimpah, diantaranya kopi yang konon terbaik di Indonesia, tapi juga karena akses yang begitu sulit untuk menuju daerah tersebut. Butuh waktu 1-2 hari dari ibu kota Kabupaten Luwu Utara menuju daerah tersebut, itupun harus menggunakan ojek yang konon ongkosnya paling mahal di Indonesia (700 ribu atau hampir sama dengan setengah bulan UMR Sulsel 2013) dan mengarungi jalan lebih pantas disebut kubangan lumpur. Akses yang sulit ke Seko bukan hanya karena bentang alamnya yang bergunung-gunung, namun juga karena sekian lama infrastruktur jalan ke daerah tersebut tidak pernah dibangun dan dipelihara.

Tentu saja, Seko bukan gambaran wajah infrastruktur Sulawesi secara keseluruhan, ia hanyalah gambaran karikaturis, yang memang sengaja digambar lebih jelek dari aslinya tapi tetap menyisakan kemiripan dengan wajah aslinya. Demikian pula dengan “wajah” infrastruktur di pulau Sulawesi. Walaupun tidak semuanya buruk seperti jalan ke Seko, hasil analisis yang dilakukan bersama-sama oleh PSKMP UNHAS dan Bank Dunia dalam rangka kajian “Diagnostik Pembangunan Sulawesi”, menunjukkan bahwa akses penduduk Sulawesi kepada infrastruktur utama, yaitu: jalan, listrik, air bersih dan sanitasi masih berada dibawah rata-rata nasional, walaupun sudah menunjukkan trend membaik pada dekade terakhir ini. Khusus dalam hal infrastruktur jalan, selama lima tahun terakhir, panjang jalan di Pulau Sulawesi tumbuh secara rata-rata 3,94 persen per tahun, sementara pertumbuhan jalan rata-rata nasional berada pada angka 4,22 persen per tahun. Sementara itu, jumlah kendaraan bertumbuh rata-rata 27,21 persen per tahun atau meningkat dua setengah kali lipat dalam lima tahun terakhir.  Akibatnya, tingkat kepadatan jalan bertambah dari 40,3 unit kendaraan per Km (2007) menjadi rata-rata 87,5 unit kendaraan per Km (2011).  Disisi lain, proporsi jalan berkualitas baik masih kurang dari setengah dari total panjang jalan di pulau Sulawesi( 42,78 persen).

Analisis tersebut juga menunjukkan bahwa sebagai akibat masih buruknya infrastruktur di Sulawesi, daya limpas (spillover effect) pertumbuhan ekonomi perkotaan terhadap pedesaan di Sulawesi relatif lebih lemah dibandingkan dengan koefisien untuk Indonesia secara keseluruhan. Infrastruktur yang lemah juga menjadi salah satu penyebab Sulawesi tidak menjadi penerima manfaat utama kebijakan industrialisasi dan hilirisasi yang saat ini sedang gencar dilaksanakan pemerintah. Dari setidaknya 7 pabrik pengolahan kakao baru yang muncul setelah adanya kebijakan bea keluar kakao, mungkin hanya 1 yang berlokasi di Sulawesi, sementara selebihnya memilih mendirikan pabriknya di Jawa yang memiliki infrastruktur yang lebih baik. Demikian pula dalam hal kebijakan larangan ekspor barang tambang mentah yang diharapkan mendorong industri hilir tambang dalam bentuk pabrik smelter akan terkendala dengan keterbatasan pasokan listrik. Cadangan daya listrik di daerah Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara (SULTANBATARA) hanya mencapai 70 MW, sementara menurut Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia, satu smelter nikel baru membutuhkan sekitar 150-300 MW (Detik.com, 15/4/2012).

Salah satu kendala yang sering diungkapkan sebagai kendala pembangunan infrastruktur adalah terbatasnya dana. Mungkin saja hal itu benar mengingat penerimaan pemerintah daerah per kapita (termasuk yang didapat dari transfer pusat) di Sulawesi adalah merupakan salah satu yang terendah di Indonesia.  Secara rata-rata antara tahun 2001-2009, penerimaan daerah per kapita pemerintah daerah di Sulawesi (Kabupaten/Kota dan Provinsi) adalah sekitar Rp. 526 ribu, jumlah  ini merupakan yang terendah diantara pulau-pulau besar di Indonesia. Di sisi lain, pembiayaan untuk infrastruktur fisik dari pemerintah pusat melalui dana tugas pembantuan juga relatif sedikit. Dana Tugas Pembantuan untuk Sulawesi masih lebih rendah dari Kalimantan dan Sumatra walaupun lebih tinggi dari Jawa/Bali dan Indonesia bagian Timur. Secara persentase dana tugas pembantuan hanya merupakan 5 persen dari total belanja infrastruktur di Sulawesi.

Namun demikian, disamping memiliki penerimaan yang rendah, Pemerintah daerah di Sulawesi secara keseluruhan juga membelanjakan lebih sedikit anggarannya untuk infrastruktur. Secara rata-rata dalam periode 2001-2009, porsi belanja infrastruktur (meliputi belanja untuk jalan/jembatan, air bersih dan sanitasi, pengairan dan belanja bidang pekerjaan umum lainnya) dalam anggaran pemerintah daerah (kab/kota dan provinsi) di Sulawesi  adalah sekitar 16 persen sementara untuk rata-rata nasional adalah sekitar 18 persen, sementara yang tertinggi, pemerintah daerah di Kalimantan membelanjakan sekitar 22 persen dari total anggarannya untuk infrastruktur.  Perlu dicatat bahwa, beberapa provinsi di Sulawesi memiliki proporsi belanja infrastruktur yang sudah besar, seperti halnya di Gorontalo dimana proporsi belanja infrastruktur dalam anggaran pemerintah provinsi secara rata-rata pada periode 2001-2009 mencapai 24 persen. Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah dan Barat memiliki proporsi belanja infrastruktur yang relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain, yaitu masing-masing sebesar 19 dan 18,5 persen.

Telaah atas anggaran di salah satu pemerintah provinsi di Sulawesi, menunjukkan bahwa jika provinsi tersebut hendak menaikkan belanja infrastrukturnya dari 14 persen di tahun 2012 menjadi 16 persen sesuai dengan rata-rata nasional proporsi anggaran belanja provinsi, provinsi tersebut hanya cukup merealokasikan 30 persen dari anggarannya yang digunakan untuk perjalanan dinas, anggaran makan minum, dan honorarium pegawai tidak tetap. Sehingga sebetulnya peningkatan proporsi belanja infrastruktur pemerintah daerah adalah hal yang mungkin, walaupun tentunya ini membutuhkan political will yang kuat dari pemerintah daerah, karena resistensi dari pihak yang dirugikan tentunya akan cukup kuat.

Namun, tentu saja peningkatan anggaran pemerintah saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur, apalagi dalam konteks Sulawesi dimana penerimaan daerah relatif terbatas. Karena itu, pemerintah daerah juga memerlukan terobosan-terobosan pembiayaan seperti kemitraan pemerintah dan swasta atau secara populer sering disebut sebagai mengundang investor untuk membangun infrastruktur, atau bahkan melakukan pinjaman baik kepada pemerintah pusat, seperti yang telah dilakukan Pemprov Sulawesi Tenggara dan Selatan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) ataupun kepada bank-bank komersial. Pinjaman, selama dilakukan terhadap proyek yang memiliki kelayakan ekonomi dan tidak dikorupsi, bisa saja dilakukan, apalagi mengingat bahwa manfaat proyek infrastruktur cenderung berumur panjang, sehingga wajar saja apabila pembiayaannya tidak hanya dibebankan pada anggaran periode sekarang namun disebarkan dalam bentuk cicilan pada periode-periode yang akan datang.

Sementara, dalam mengundang investor swasta yang seringkali terlupakan adalah bahwa pihak swasta tentunya memerlukan tingkat pengembalian yang cukup atas modal yang ditanamkan, sehingga agar swasta mau berinvestasi, pemerintah tidak hanya cukup melakukan promosi untuk menjajakan peluang investasi, namun juga perlu melaksanakan perannya dalam menjalankan fungsi penjaminan dan menutup celah kelayakan (viability gap financing) antara kelayakan keuangan bagi investor dan kelayakan bagi kepentingan perekonomian secara lebih luas. Di India, misalnya, pada tahun 2012 pemerintah memberikan subsidi modal awal kepada 145 proyek melalui mekanisme viability gap financing ini.

Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur adalah satu keniscayaan jika Sulawesi ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan layanan publik yang merata. Jika tidak, bisa saja momentum pertumbuhan ekonomi yang belakangan ini berada jauh diatas rata-rata nasional di Sulawesi akan habis karena kegagalan penyediaan infrastruktur publik untuk mengejar kebutuhan yang semakin meningkat akibat pertumbuhan ekonomi.

Kisah daerah Seko seperti diuraikan diawal tulisan ini menunjukkan kepada kita bahwa akses masyarakat kepada infrastruktur masih harus digenjot di Sulawesi.  Untuk menggenjotnya, sepertinya masih tersedia ruang bagi pemerintah-pemerintah daerah di Sulawesi untuk meningkatkan proporsi belanja infrastrukturnya, dan dengan disertai dengan terobosan pembiayaan lain seperti melalui kemitraan dengan swasta.

* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tribun Timur beberapa waktu yang lalu. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. Sebagian materi tulisan berdasarkan hasil Kajian Diagnosa Pembangunan Sulawesi yang saat ini sedang berjalan.