Senin, 10 September 2012
kemiskinan sulsel
23.14
Sosial
MEMAKNAI
ANGKA KEMISKINAN DI SULAWESI SELATAN
Agussalim
Setelah
sempat dikejutkan dengan pembengkakan angka kemiskinan periode Maret
2011-September 2011, pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan bisa bernapas
sedikit lega di tahun 2012. Pasalnya, jumlah dan persentase penduduk miskin di
Provinsi Sulawesi Selatan kembali mengalami penurunan. Menurut hasil kalkulasi
BPS, jumlah penduduk miskin menurun dari 835.510 orang pada September 2011 menjadi
825.790 orang pada Maret 2012 atau menurun sebesar 1,16 persen. Dengan
penurunan sebesar itu, persentase penduduk miskin saat ini menjadi 10,11
persen, dari sebelumnya 10,27 persen.
Namun ada fakta
menarik dibalik penurunan angka kemiskinan tersebut, terutama jika dilihat dari
perspektif wilayah. Penurunan angka kemiskinan ternyata hanya berlangsung di
wilayah perkotaan, tetapi tidak di wilayah perdesaan. Hasil perhitungan BPS
menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan malah bertambah
sebesar 0,7 ribu orang pada periode Maret 2011-Maret 2012, sedangkan di wilayah
perkotaan menurun sebesar 7,8 ribu orang. Tentu saja, fonomena ini patut
direspon secara serius, sedikitnya karena
tiga alasan. Pertama, adagium yang terkenal luas di kalangan para ekonomi
bahwa “pasang naik air laut akan mengangkat semua perahu” tampaknya tidak
berlaku di Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup impresif pada tahun
2011 ternyata tidak mampu mengangkat taraf hidup semua kelompok penduduk. Taraf
hidup kelompok penduduk miskin di wilayah perdesaan justru semakin memburuk
yang diindikasikan oleh bertambahnya jumlah penduduk miskin.
Kedua, jika
pertumbuhan ekonomi tidak memberi dampak terhadap penduduk miskin di wilayah
perdesaan, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati
oleh kelompok penduduk menengah-atas yang bermukim di wilayah perkotaan. Jika pertumbuhan ekonomi lebih bias ke kelompok penduduk klas menengah-atas
ketimbang kelompok penduduk klas bawah, maka dapat dipastikan bahwa distribusi
pendapatan akan cenderung semakin melebar dan timpang. Angka koefisien gini
yang membesar, dari 0,36 pada tahun 2008 menjadi 0,40 pada tahun 2011, sesungguhnya
hanya sekedar mengkonfirmasi fakta ini. Di kalangan penduduk miskin, situasi
ini berpotensi menimbulkan efek psikologis, dimana mereka menganggap dirinya
semakin miskin meskipun sesungguhnya secara absolut kehidupan mereka semakin
membaik dibandingkan dengan sebelumnya.
Ketiga, secara
implisit, pembengkakan jumlah penduduk miskin juga menegaskan bahwa kebijakan
dan program penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan secara massif
dalam beberapa tahun terakhir tampaknya tidak cukup efektif untuk memperbaik
taraf hidup penduduk miskin, khususnya di wilayah perdesaan. Dalam konteks ini,
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan berbagai program
pengentasan kemiskinan dapat dinilai tidak berhasil di Sulawesi Selatan. Dalam
perspektif perencanaan, PNPM boleh jadi berhasil pada tataran output (memperbaiki saluran irigasi,
jalan desa, lingkungan pemukiman, dsb.), tetapi tentu saja tidak berhasil pada
tataran impact (mengurangi jumlah
penduduk miskin).
Pertumbuhan Konvensional Vs Pertumbuhan
Berkualitas
Keseluruhan fakta di atas menegaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi konvensional (dengan cara pandang ekonomi positif) tampaknya
tidak bisa lagi sepenuhnya diandalkan. Hubungan korelasional antara pertumbuhan
ekonomi konvensional di satu sisi dan pengentasan kemiskinan, perbaikan
distribusi pendapatan, dan perbaikan taraf hidup masyarakat di sisi lain,
seperti yang dipahami dalam paradigma efek menetes ke bawah (trickle down effect), ternyata juga tidak
terbukti. Pertumbuhan ekonomi
konvensional semakin diragukan efektifitasnya seiring dengan terjadinya
divergensi antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup masyarakat
klas bawah. Pada titik ini, kesangsian atas pertumbuhan ekonomi konvensional,
termasuk angka statistik yang menyertainya, menjadi tak terelakkan.
Pertumbuhan ekonomi konvensional yang bertumpu pada
variabel makro-ekonomi, terutama arus penanaman modal dan peningkatan ekspor,
memang seringkali tidak memiliki kaitan yang kuat dengan pengentasan penduduk
miskin. Kaitan tersebut menjadi semakin lemah, ketika arus penanaman modal
tersebut lebih banyak bergerak pada usaha padat modal (misalnya, industri telekomunikasi)
dan sektor-sektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang rendah
(misalnya, sektor lembaga keuangan; hotel dan restoran; listrik, air bersih dan
gas).
Oleh karena itu, pertumbuhan inklusif (inclusive growth) ataupun pertumbuhan
berkualitas (the quality of growth)
ataupun pertumbuhan yang berpihak kepada kaum miskin (pro-poor growth), sebagai sebuah terminologi baru dalam wacana
pembangunan dewasa ini, perlu didorong dan diintensifkan di Sulawesi Selatan,
baik pada tingkatan rencana maupun pada tingkatan implementasi. Konsep ini
lebih mementingkan “dampak” ketimbang sekedar angka statistik. Pertumbuhan
ekonomi dikatakan inklusif, berkualitas atau berpihak kepada kaum miskin jika
mampu mengurangi angka kemiskinan, menurunkan angka pengangguran, memperbaiki distribusi
pendapatan, mengangkat taraf hidup masyarakat klas bawah, dan seterusnya. Pertumbuhan
ekonomi Cina yang fantastik misalnya, ternyata tidak sepenuhnya diapresiasi
oleh para penggiat pembangunan karena dianggap tidak pro-poor. Penyebabnya, karena kelompok penduduk klas atas mengalami
kenaikan pendapatan yang jauh lebih cepat ketimbang kelompok penduduk klas
bawah. Artinya, distribusi pendapatan semakin timpang di Cina.
Secara
konseptual, pertumbuhan inklusif lebih mementingkan indikator-indikator kesejahteraan
(welfare) ketimbang pertumbuhan (growth).
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi konvensional dan pendapatan per kapita,
yang selama puluhan tahun dijadikan sebagai indikator
utama pembangunan, dianggap
sudah tidak relevan lagi dan perlu segera dikoreksi. Sebaliknya, kemampuan daya beli dan konsumsi, akses terhadap pangan dan pekerjaan, akses
terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, akses
terhadap sumberdaya ekonomi
dan kepemilikan asset, lingkungan perumahan dan
pemukiman yang sehat, dianggap sebagai
indikator pembangunan yang lebih realistik karena lebih
mencerminkan kualitas pembangunan yang sesungguhnya.
Dalam
kerangka evaluatif, pertanyaan yang patut diajukan kemudian adalah apakah
desain kebijakan dan program pembangunan daerah selama ini, baik pada level
provinsi maupun kabupaten/kota, sudah diarahkan untuk memperbaiki
indikator-indikator kesejahteraan. Apakah anggaran pemerintah daerah sudah
dialokasikan dan distribusikan sedemikian rupa untuk memperbaiki kualitas hidup
masyarakat klas bawah. Apakah sudah terbangun persepsi yang sama di kalangan
para pemangku kepentingan (pemerintah, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi,
lembaga donor, organisasi kemasyarakatan, dsb.) bahwa “manusia” harus menjadi
muara dari keseluruhan tindakan yang mengatasnamakan pembangunan. Jika jawabanya
belum, maka sesungguhnya kita tidak boleh berharap banyak bahwa angka
kemiskinan akan menurun secara signifikan.
Agenda Kebijakan
Jika pemerintah
daerah memiliki keinginan kuat untuk menekan angka kemiskinan ke level yang
lebih rendah, maka agenda kebijakan ke depan harus difokuskan pada:
Pertama,
pada tingkatan makro, mesin pertumbuhan (engine
of growth) harus digeser dari sektor yang memiliki elastisitas penyerapan
tenaga kerja yang rendah (misalnya, sektor lembaga keuangan, telekomunikasi,
hotel dan restoran) ke sektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja
yang tinggi (misalnya, sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan
perdagangan). Implikasinya, seluruh desain kebijakan pembangunan daerah harus
berorientasi pada upaya mendorong dan menfasilitasi berkembangnya sektor-sektor
ekonomi yang disebutkan terakhir. Melalui upaya semacam ini, diharapkan
kesempatan kerja bisa ditingkatkan dan angka pengangguran bisa ditekan,
sehingga pada gilirannya angka kemiskinan dapat diturunkan. Bersamaan dengan
upaya tersebut, tingkat kenaikan harga (inflasi), terutama untuk barang-barang
konsumsi rumah tangga penduduk miskin, perlu terus dikendalikan. Ini penting,
bukan hanya untuk mempertahankan “daya beli” masyarakat miskin, tetapi juga
untuk menjaga posisi “nilai tukar” penduduk miskin atas barang-barang konsumsi.
Kedua,
pada tingkatan mikro, program-program yang diarahkan untuk menekan beban
pengeluaran penduduk miskin di satu sisi, dan meningkatkan produktivitas
penduduk miskin di sisi lain, harus terus diintensifkan. Program layanan
pendidikan dan kesehatan untuk rumah tangga miskin perlu terus dilanjutkan
dengan memperluas jangkauan dan meningkatkan aksessibilitas. Program semacam
ini, disamping dapat menekan beban pengeluaran penduduk miskin dalam jangka
pendek, juga dapat memperbaiki kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia
penduduk miskin dalam jangka panjang. Menyertai usaha tersebut, program-program
yang diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas penduduk miskin juga
harus terus diupayakan dan ditingkatkan intensitas dan jangkauannya, misalnya melalui
pemberian kredit mikro, program padat karya perdesaan, pelatihan keterampilan,
dan sebagainya.
Ketiga,
pada tataran kelembagaan, perlu dibangun sinergitas antara pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota, terutama untuk kabupaten/kota dengan jumlah
dan persentase penduduk miskin yang relatif besar (misalnya Kota Makassar,
Kabupaten Bone, Jeneponto dan Pangkep), untuk mendesain kebijakan, strategi,
program, dan penganggaran penanggulangan kemiskinan. Pada saat bersamaan,
koordinasi dan sinergitas program antar SKPD perlu lebih ditingkatkan mengingat
penanggulangan kemiskinan bersifat outcome
based yang membutuhkan keterlibatan dan partisipasi multi-pihak. Lembaga
donor internasional juga perlu digiring dan diarahkan untuk bekerja pada ranah
pemberdayaan masyarakat miskin.
Keempat,
pada tataran lokus, program penanggulangan kemiskinan perlu diarahkan ke
wilayah-wilayah perdesaan, yang selama ini menjadi tempat bermukim sebagian
besar penduduk miskin. Perbaikan infrastruktur dasar perdesaan, peningkatan
aksessibilitas, peningkatan layanan dasar, pemberian skim kredit mikro,
pemenuhan hak-hak dasar, pengembangan program padat karya, dan sebagainya,
merupakan sejumlah program yang layak direkomendasikan di masa depan. Program
semacam ini, di banyak tempat, terbukti efektif mengurangi angka kemiskinan dan
memperbaiki taraf hidup masyarakat, terutama di perdesaan yang menjadi wilayah
konsentrasi penduduk miskin.
Kelima,
pada tataran horizon perencanaan, strategi penanggulangan kemiskinan dalam
perspektif jangka menengah dan jangka panjang harus bertumpu pada upaya
peningkatan kemampuan dan kapabilitas penduduk miskin untuk mengakses
sumberdaya ekonomi. Dalam persepktif ini, pengentasan kemiskinan perlu
dikorelasikan dengan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Upaya semacam
ini akan sanggup memperbaiki produktivitas, mengurangi ketergantungan, menekan
kerentanan, dan meningkatkan kemandirian penduduk miskin.
Jika seluruh
upaya di atas dapat direalisasikan secara konsisten dan berkelanjutan, maka
sangat boleh jadi kita semua akan semakin yakin, bahwa ternyata kemiskinan
bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diberantas.