Kamis, 24 Oktober 2013
demokrasi a la kampus
02.14
Sosial
DEMO(OTO)KRASI
A LA KAMPUS: Sebuah Otokritik
Agussalim
Dosen FEB-UNHAS / Focal Point JiKTI Sulsel
The greater
the power, the more dangerous the abuse. (Edmund Burke)
Sejatinya, sistem demokrasi
berkembang dan dipraktekkan oleh hampir semua negara karena memiliki kejelasan
parameter dan standar. Pemenang dalam sistem demokrasi ditentukan dan
ditetapkan dengan parameter dan standar yang jelas dan dimengerti oleh semua
pihak, baik yang terlibat langsung maupun yang sekedar sebagai penonton. 50+1 ataupun
suara terbanyak adalah sebuah parameter yang jelas dan indikator yang clear untuk menetapkan apakah seseorang layak
menjadi pemenang atau justru menjadi pecundang. Adanya parameter yang jelas
dapat menghindarkan kita dari prasangka buruk dan pertikaian serta memungkinkan
kita untuk tetap menjaga akuntabilitas, memelihara kepercayaan publik, dsb.
Namun saat ini, kampus
(perguruan tinggi) tengah mempraktekkan demokrasi yang sama sekali berbeda. Penentuan
seseorang untuk mempimpin fakultas (baca: Dekan) sangat jauh dari semangat demokrasi.
Proses yang berlangsung tidak memiliki parameter dan standar yang jelas. Pada
tahapan awal, proses demokrasi berlangsung dengan cukup elegan: penjaringan
bakal calon dilakukan melalui pemungutan suara (voting), mulai di level jurusan hingga kemudian dilanjutkan di
level fakultas. Mereka yang memperoleh suara terbanyak yang kemudian dinyatakan
lolos untuk menuju tahapan berikutnya. Yang boleh mengajukan diri sebagai calon
dekan adalah mereka yang pernah menduduki jabatan minimal ketua jurusan, ketua
program studi atau jabatan yang selevel dengan itu. Dalam proses tersebut, tampak
jelas adanya parameter dan standar yang sangat clear.
Namun pada proses
berikutnya, di level di rektorat, tampak adanya keinginan untuk mencederai
semangat demokrasi. Penentuan dekan dilakukan dengan parameter yang tidak
jelas, tidak transparan, dan tidak
akuntabel. Seseorang bisa saja ditetapkan oleh pihak rektorat sebagai dekan,
meskipun dalam proses pemungutan suara (voting)
di level jurusan maupun di level fakultas ia tidak keluar sebagai pemenang. Fakta
ini terjadi di salah satu fakultas di lingkungan Universitas Hasanuddin. Pertanyaan
substansialnya kemudian adalah: bagaimana mungkin seseorang bisa dipilih
menjadi dekan oleh pihak rektorat, padahal baik di jurusan maupun di fakultas,
ia tidak sepenuhnya dikehendaki, atau setidaknya, ada orang lain yang lebih
diinginkan.
Ketidakjelasan
standar juga terjadi dalam proses pemilihan dekan di salah satu fakultas lainnya.
Tiga calon dekan yang lolos dalam penjaringan di tingkat fakultas kemudian dibawa
ke rektorat. Para jajaran pimpinan di rektorat lalu melakukan semacam fit and proper test bagi ketiga
kandidat. Dalam proses tersebut, ketiganya diminta untuk melakukan presentasi
dalam bahasa inggris. Hasilnya bisa langsung ditebak, karena salah satu
kandidat adalah professor bahasa inggris, dan yang lainnya adalah professor
sejarah. Publik kemudian menilai bahwa proses tersebut sengaja dirancang untuk “meloloskan” yang satu dan “menjegal”
yang lain. Penilaian tersebut menjadi semakin valid karena cara itu tidak
pernah lagi dipraktekkan sesudahnya dalam proses pemilihan dekan fakultas lain.
Ketidakjelasan
parameter dan standar membuat publik kemudian bertanya-tanya: praktek demokrasi
seperti apa yang sesesungguhnya ingin dikembangkan di komunitas orang-orang
“cerdik-pandai”?
Argumentasi yang
coba dibangun, bahwa kampus tidak boleh ikut-ikutan dengan cara-cara demokrasi
a la partai politik, terutama dalam pemilihan kepala daerah. Pada tataran
praktis, kita semua pasti setuju bahwa kampus memang tidak boleh melakukan
cara-cara seperti yang dilakukan oleh para kandidat dalam pilkada: mengumpulkan
massa, membentuk tim sukses, survei popularitas dan elektabilitas, pesta
dangdutan, karnaval massa pendukung, perang spanduk dan baliho, saling
menyerang antar kandidat, bagi-bagi sembako, dan seterusnya. Tetapi pada
tataran substansial, prinsip-prinsip demokrasi harus tetap dijaga, bahwa
penentuan pemenang harus dengan parameter dan standar yang jelas, transparan, akuntabel,
dan publik harus memiliki akses terhadap seluruh proses yang berlangsung. Ini
penting agar kita tidak kembali pada sistem otokrasi dengan kekuasaan oligarki,
yang terbukti sangat manipulatif.
Sangat boleh jadi,
pada tataran substansial, demokrasi yang dianut dan dipraktekkan di kampus saat
ini jauh lebih buruk dari apa yang dipraktekkan di luar kampus. Indikasinya
mudah terlihat. Sejumlah pertanyaan krusial tidak akan pernah bisa terjawab
dalam sistem yang sedang dikembangkan di kampus saat ini. Misalnya: Apakah semua
proses berlangsung secara transparan? Apakah seluruh civitas akademika memiliki
akses informasi atas seluruh proses yang berlangsung? Apakah proses penjaringan
bakal calon dan calon dekan di level jurusan dan fakultas turut dijadikan
sebagai pertimbangan dalam penetapan dekan? Bagaimana proses pengambilan
keputusan jika terjadi kontradiksi penilaian antara tim internal dan tim
eksternal dalam menilai figur calon? Apakah semua proses dan tahapan memiliki
bobot penilaian yang memungkinkan untuk diaggregasi? Apakah kandidat yang kalah
dapat dengan jelas memahami faktor penyebab yang membuatnya kalah? Dan
seterusnya… dan seterusnya…
Tentu saja, ketidakjelasan
parameter dan standar menjadi penyebab utama mengapa sejumlah pertanyaan
tersebut tidak bisa terjawab, Maka, kita tidak perlu heran jika di kalangan civitas
akademika muncul persepsi kuat bahwa penetapan dekan dilakukan dengan “suka-suka
gue” dan “cenning-cenning ati”. Faktor kedekatan secara personal, like and dis-like, alasan kebutuhan dukungan (terkait dengan pemilihan
rektor periode berikutnya), boleh jadi menjadi pertimbangan-pertimbangan
subjektif dalam penentuan dekan, dan tentu saja, sangat jauh dari semangat
demokrasi. Intrepretasi dan dugaan-dugaan semacam ini mudah bertumbuh dan
berkembang liar dalam proses yang tidak sepenuhnya berlangsung secara transparan
dan akuntabel.
Akibatnya
kemudian, bagi orang-orang yang suka mengejar jabatan, pikiran-pikiran pragmatis
telah memenuhi otak dan mempengaruhi mind-set
mereka, bahwa untuk menjadi dekan, tidak perlu capek-capek berprestasi dan bekerja
keras untuk berkinerja baik serta membangun hubungan kolegial yang lebih
harmonis di level jurusan dan fakultas, tetapi cukup “menyetor muka” secara
intens di gedung rektorat. Dalam konteks ini, boleh jadi benar pernyataan yang
dilontarkan oleh salah seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Politik
Universitas Hasanuddin, beberapa waktu yang lalu, bahwa untuk menjadi dekan,
Anda harus “rajin-rajin mencium pantatnya Rektor”.
Pernyataan seorang
dekan terpilih menjadi menarik untuk diintrepretasi: “sejak awal, saya memang
sudah ditunggu di rektorat”. Pernyataan sebaliknya datang dari salah seorang
calon yang kalah: “saya dizalimi oleh rezim yang sedang berkuasa”. Saya
persilahkan Anda untuk melakukan improvisasi intrepretasi atas kedua pernyataan
tersebut. Anda bebas berpendapat, karena kita sedang berada dalam alam
demokrasi... katanya.
Atau
jangan-jangan, kampus memang bukan tempat yang baik bagi bersemainya demokrasi,
karena orang-orang kampus sudah terlanjur memonopoli kebenaran. Wallahu alam.
Kampus Tamalanrea, Awal
Oktober 2013