Kamis, 24 Oktober 2013

demokrasi a la kampus



DEMO(OTO)KRASI A LA KAMPUS: Sebuah Otokritik

Agussalim
Dosen FEB-UNHAS / Focal Point JiKTI Sulsel

The greater the power, the more dangerous the abuse. (Edmund Burke)

Sejatinya, sistem demokrasi berkembang dan dipraktekkan oleh hampir semua negara karena memiliki kejelasan parameter dan standar. Pemenang dalam sistem demokrasi ditentukan dan ditetapkan dengan parameter dan standar yang jelas dan dimengerti oleh semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun yang sekedar sebagai penonton. 50+1 ataupun suara terbanyak adalah sebuah parameter yang jelas dan indikator yang clear untuk menetapkan apakah seseorang layak menjadi pemenang atau justru menjadi pecundang. Adanya parameter yang jelas dapat menghindarkan kita dari prasangka buruk dan pertikaian serta memungkinkan kita untuk tetap menjaga akuntabilitas, memelihara kepercayaan publik, dsb.

Namun saat ini, kampus (perguruan tinggi) tengah mempraktekkan demokrasi yang sama sekali berbeda. Penentuan seseorang untuk mempimpin fakultas (baca: Dekan) sangat jauh dari semangat demokrasi. Proses yang berlangsung tidak memiliki parameter dan standar yang jelas. Pada tahapan awal, proses demokrasi berlangsung dengan cukup elegan: penjaringan bakal calon dilakukan melalui pemungutan suara (voting), mulai di level jurusan hingga kemudian dilanjutkan di level fakultas. Mereka yang memperoleh suara terbanyak yang kemudian dinyatakan lolos untuk menuju tahapan berikutnya. Yang boleh mengajukan diri sebagai calon dekan adalah mereka yang pernah menduduki jabatan minimal ketua jurusan, ketua program studi atau jabatan yang selevel dengan itu. Dalam proses tersebut, tampak jelas adanya parameter dan standar yang sangat clear.
Namun pada proses berikutnya, di level di rektorat, tampak adanya keinginan untuk mencederai semangat demokrasi. Penentuan dekan dilakukan dengan parameter yang tidak jelas,  tidak transparan, dan tidak akuntabel. Seseorang bisa saja ditetapkan oleh pihak rektorat sebagai dekan, meskipun dalam proses pemungutan suara (voting) di level jurusan maupun di level fakultas ia tidak keluar sebagai pemenang. Fakta ini terjadi di salah satu fakultas di lingkungan Universitas Hasanuddin. Pertanyaan substansialnya kemudian adalah: bagaimana mungkin seseorang bisa dipilih menjadi dekan oleh pihak rektorat, padahal baik di jurusan maupun di fakultas, ia tidak sepenuhnya dikehendaki, atau setidaknya, ada orang lain yang lebih diinginkan.
Ketidakjelasan standar juga terjadi dalam proses pemilihan dekan di salah satu fakultas lainnya. Tiga calon dekan yang lolos dalam penjaringan di tingkat fakultas kemudian dibawa ke rektorat. Para jajaran pimpinan di rektorat lalu melakukan semacam fit and proper test bagi ketiga kandidat. Dalam proses tersebut, ketiganya diminta untuk melakukan presentasi dalam bahasa inggris. Hasilnya bisa langsung ditebak, karena salah satu kandidat adalah professor bahasa inggris, dan yang lainnya adalah professor sejarah. Publik kemudian menilai bahwa proses tersebut sengaja dirancang  untuk “meloloskan” yang satu dan “menjegal” yang lain. Penilaian tersebut menjadi semakin valid karena cara itu tidak pernah lagi dipraktekkan sesudahnya dalam proses pemilihan dekan fakultas lain.
Ketidakjelasan parameter dan standar membuat publik kemudian bertanya-tanya: praktek demokrasi seperti apa yang sesesungguhnya ingin dikembangkan di komunitas orang-orang “cerdik-pandai”?
Argumentasi yang coba dibangun, bahwa kampus tidak boleh ikut-ikutan dengan cara-cara demokrasi a la partai politik, terutama dalam pemilihan kepala daerah. Pada tataran praktis, kita semua pasti setuju bahwa kampus memang tidak boleh melakukan cara-cara seperti yang dilakukan oleh para kandidat dalam pilkada: mengumpulkan massa, membentuk tim sukses, survei popularitas dan elektabilitas, pesta dangdutan, karnaval massa pendukung, perang spanduk dan baliho, saling menyerang antar kandidat, bagi-bagi sembako, dan seterusnya. Tetapi pada tataran substansial, prinsip-prinsip demokrasi harus tetap dijaga, bahwa penentuan pemenang harus dengan parameter dan standar yang jelas, transparan, akuntabel, dan publik harus memiliki akses terhadap seluruh proses yang berlangsung. Ini penting agar kita tidak kembali pada sistem otokrasi dengan kekuasaan oligarki, yang terbukti sangat manipulatif.
Sangat boleh jadi, pada tataran substansial, demokrasi yang dianut dan dipraktekkan di kampus saat ini jauh lebih buruk dari apa yang dipraktekkan di luar kampus. Indikasinya mudah terlihat. Sejumlah pertanyaan krusial tidak akan pernah bisa terjawab dalam sistem yang sedang dikembangkan di kampus saat ini. Misalnya: Apakah semua proses berlangsung secara transparan? Apakah seluruh civitas akademika memiliki akses informasi atas seluruh proses yang berlangsung? Apakah proses penjaringan bakal calon dan calon dekan di level jurusan dan fakultas turut dijadikan sebagai pertimbangan dalam penetapan dekan? Bagaimana proses pengambilan keputusan jika terjadi kontradiksi penilaian antara tim internal dan tim eksternal dalam menilai figur calon? Apakah semua proses dan tahapan memiliki bobot penilaian yang memungkinkan untuk diaggregasi? Apakah kandidat yang kalah dapat dengan jelas memahami faktor penyebab yang membuatnya kalah? Dan seterusnya… dan seterusnya…
Tentu saja, ketidakjelasan parameter dan standar menjadi penyebab utama mengapa sejumlah pertanyaan tersebut tidak bisa terjawab, Maka, kita tidak perlu heran jika di kalangan civitas akademika muncul persepsi kuat bahwa penetapan dekan dilakukan dengan “suka-suka gue” dan “cenning-cenning ati”. Faktor kedekatan secara personal, like and dis-like, alasan kebutuhan dukungan (terkait dengan pemilihan rektor periode berikutnya), boleh jadi menjadi pertimbangan-pertimbangan subjektif dalam penentuan dekan, dan tentu saja, sangat jauh dari semangat demokrasi. Intrepretasi dan dugaan-dugaan semacam ini mudah bertumbuh dan berkembang liar dalam proses yang tidak sepenuhnya berlangsung secara transparan dan akuntabel.
Akibatnya kemudian, bagi orang-orang yang suka mengejar jabatan, pikiran-pikiran pragmatis telah memenuhi otak dan mempengaruhi mind-set mereka, bahwa untuk menjadi dekan, tidak perlu capek-capek berprestasi dan bekerja keras untuk berkinerja baik serta membangun hubungan kolegial yang lebih harmonis di level jurusan dan fakultas, tetapi cukup “menyetor muka” secara intens di gedung rektorat. Dalam konteks ini, boleh jadi benar pernyataan yang dilontarkan oleh salah seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Hasanuddin, beberapa waktu yang lalu, bahwa untuk menjadi dekan, Anda harus “rajin-rajin mencium pantatnya Rektor”.
Pernyataan seorang dekan terpilih menjadi menarik untuk diintrepretasi: “sejak awal, saya memang sudah ditunggu di rektorat”. Pernyataan sebaliknya datang dari salah seorang calon yang kalah: “saya dizalimi oleh rezim yang sedang berkuasa”. Saya persilahkan Anda untuk melakukan improvisasi intrepretasi atas kedua pernyataan tersebut. Anda bebas berpendapat, karena kita sedang berada dalam alam demokrasi... katanya.
Atau jangan-jangan, kampus memang bukan tempat yang baik bagi bersemainya demokrasi, karena orang-orang kampus sudah terlanjur memonopoli kebenaran. Wallahu alam.
Kampus Tamalanrea, Awal Oktober 2013