Jumat, 06 Desember 2013
Anak Jalanan
18.22
Sosial
MENGENTASKAN ANAK JALANAN: BUTUH KEPEDULIAN KOLEKTIF
Agussalim
(Focal Point
JiKTI Sulsel, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Peneliti P3KM Universitas Hasanuddin)
Teman-temannya sesama anak jalanan
sering memanggilnya Adi. Usianya genap 11 tahun Oktober nanti. Badannya ceking,
boleh jadi karena kurangnya asupan gizi. Kulitnya gelap akibat sengatan
matahari. Ia terpaksa harus turun ke jalan untuk mencari nafkah dan mengais
rezeki karena jeratan kemiskinan. Pekerjaan yang kerapkali dilakoninya adalah
menyediakan jasa payung bagi pengunjung mall dari dan ke parkiran ketika musim
hujan tiba. Ia memperoleh upah seribu rupiah atas jasanya tersebut dan sesekali
dua ribu rupiah dari orang yang sedikit dermawan. Baginya, musim hujan adalah
berkah. Sesekali ia terpaksa mengemis ketika cuaca lagi cerah. Itu sebabnya,
mukanya mudah tersenyum, barangkali sekedar untuk menarik simpati para pemberi
derma. Semua aktifitas itu dilakoninya sepulang sekolah dan tentu saja saat
liburan sekolah. Saat ini, ia duduk di bangku kelas V di sebuah sekolah dasar
di sekitar Toddopuli. Ia terpaksa melakukan semua pekerjaan ini karena kedua orangtuanya
tidak sanggup menafkahinya. Ayahnya hanyalah penarik becak dan ibunya tukang
cuci harian yang juga sesekali mengemis. Menafkahi Adi bersama lima orang saudaranya tentu bukanlah perkara mudah. Namun di tengah jeratan
kemiskinan, Adi masih menyimpan cita-cita untuk
menjadi seorang dokter. Akan tetapi kepalanya akan tertunduk lesu ketika
ditanya apakah cita-citanya tersebut akan sanggup ia raih kelak. Sebab dalam
benaknya, mampu menamatkan sekolah dasar saja sudah merupakan sebuah kemewahan.
Di sudut lain Kota Makassar, Lia tengah
berdiri diprapatan lampu merah dengan wajah memelas memohon belas kasihan.
Usianya setahun lebih mudah dari Adi. Wajahnya kusam akibat debu jalanan dan
asap knalpot kendaraan. Dengan pakaian sekolah yang agak
kumal, ia menghampiri setiap pengendara sambil berharap derma uang recehan. Ia
tak seberuntung Adi dalam urusan keluarga. Ayahnya pergi meninggalkannya
bersama ibunya dan dua orang adiknya yang masih balita. Sebagai anak sulung,
Lia terpaksa - atau mungkin dipaksa - untuk mencari nafkah, entah dengan cara
apa, agar ia bersama adik-adiknya bisa menyantap mie rebus setiap hari. Sebuah
tanggung jawab yang belum pantas untuk diembannya. Ketika ditanya apa
cita-citanya, ia hanya menarik kedua ujung bibirnya. Mungkin ia merasa tidak
pantas untuk punya cita-cita dan menyimpan asa untuk masa depannya. Baginya,
masih bisa tetap duduk di bangku sekolah dasar saja, sudah merupakan sebuah mujizat.
Adi dan Lia hanyalah dua dari ratusan
anak yang hidup di sudut-sudut jalan Kota Makassar. Mereka memang bukanlah
sepenuhnya potret utuh dari fenomena anak jalanan. Sebab, menurut berbagai
sumber, anak jalanan terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan yang berbahaya, mulai dari pengemis, pedagang asongan, penjaja koran, pengamen jalanan,
penyemir sepatu, hingga kurir narkoba. Sebagian dari mereka masih duduk di
bangku sekolah, sebagian lainnya sudah tak memakai seragam sekolah lagi. Mereka
adalah orang-orang tersisih dari kehidupan metropolis. Mereka berada dalam
kasta terendah dalam konsep distribusi pendapatan gini ratio. Mereka, oleh BPS,
diidentifikasi sebagai orang-orang miskin dan karenanya harus rela antri untuk
memperoleh BLSM. Gemerlap kehidupan kota sama sekali tak mampu mereka cicipi. Kemajuan
ekonomi tidak mampu menetes ke kehidupan mereka. Akses mereka untuk menikmati
kehidupan yang layak terkunci dengan rapat, hampir tanpa celah. Hidup dijalanan
hanyalah pilihan terakhir untuk sekedar bisa bertahan hidup.
Namun cara pandang berbeda juga bisa
digunakan untuk menjelaskan eksistensi mereka. Bahwa mereka sesungguhnya simbol
dari keuletan, kerja keras, daya juang, kegigihan, semangat untuk bertahan
hidup, dan kemampuan untuk menerima segala bentuk hinaan. Kehidupan jalanan
yang keras telah menempa mereka untuk bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan
mandiri. Mereka selalu punya cara untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka,
atau mungkin tepatnya, memanfaatkan setiap peluang untuk sekedar bisa bertahan
hidup. Ini bisa dipandang sebagai sebuah kecerdasan alamiah.
Satu-satunya yang patut disyukuri adalah
fakta bahwa sebagian besar dari mereka masih bisa tetap bersekolah. Pendidikan,
sebagai salah satu hak dasar manusia, masih sanggup menjangkau mereka, meski tidak
ada jaminan bahwa pendidikan dengan level yang lebih tinggi akan tetap dapat
mereka nikmati. Mereka masih masuk dalam data-base pendidikan gratis,
pendidikan bersubsidi, atau apalah namanya. Mereka masih bisa sedikit berbangga
karena masih mengenakan seragam dengan lambang osis yang terpasang di dada.
Sepertinya, hanya itu kebanggaan yang masih tersisa, dan karena itu, mereka
berusaha untuk merawatnya sampai pada batas dimana mereka tidak sanggup lagi
mempertahankannya karena derita kemiskinan.
Dalam kondisi seperti itu, eksistensi
negara mulai dipersoalkan. Sebab, di dalam konstitusi (baca: UUD 45) disebutkan
secara tegas bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Sebuah niat suci yang tidak dibarengi dengan tindakan nyata. Negara seringkali
lalai dan alpa untuk mengurusi nasib mereka. Keberadaan mereka hanya sesekali
dilirik oleh para politisi yang sibuk berebut kekuasaan pada perhelatan pemilu,
pilpres, pilkada, dst. Mereka dengan terpaksa menyimak dengan khidmat janji
"angin surga" yang dihembuskan ketelinga mereka, karena setelahnya
mereka memperoleh balas jasa berupa sebungkus mie instan atau selembar kaus
oblong atau sarung lebaran atau sesekali uang pecahan Rp 10.000 sebanyak dua
lembar dalam amplop yang bergambar “tokoh politik”. Setelah perhelatan usai,
seperti lazimnya, mereka kemudian diabaikan dan dicampakkan. Namun mereka tidak
protes, karena mereka sangat yakin bahwa pada perhelatan berikutnya mereka
pasti dikunjungi kembali, sambil berharap nilai balas jasa yang sedikit lebih
besar.
Mereka adalah sekumpulan orang yang
tersisih dari “rasa manis” pembangunan. Mereka adalah sekerumunan orang yang
terpinggirkan dari “derai-tawa” kesejahteraan. Oleh karena itu, mereka perlu
digeser posisinya ke level yang memungkinkan mereka dtempatkan sebagai
“manusia” dalam sebuah perabadan tanpa derita ekstrim kemiskinan. Sebab, kemiskinan,
sebagaimana dikatakan oleh Nelson Mandela, adalah buatan manusia, dan karena
itu, seharusnya bisa dientaskan oleh tindakan manusia. Memulainya harus dengan
kepedulian dari semua orang yang meyakini bahwa kehidupan sosial yang lebih
baik hanya dapat terwujud dalam situasi ekonomi yang berlangsung lebih
eqaliter. Percayalah, bahwa sumbu utama terjadinya berbagai gejolak sosial
adalah masalah ketimpangan, kecemburuan sosial, kemelaratan, ketidakadilan, dan
sejenisnya. Saya kira, anda, saya, dan kita semua tidak ingin hidup dalam
situasi dimana gejolak sosial terus mewarnai kehidupan keseharian kita dan
membuat tidur kita tidak bisa sepenuhnya pulas karena terus terjaga oleh
ketakutan, atau mungkin …. perasaan bersalah.