Jumat, 06 Desember 2013

Anak Jalanan


MENGENTASKAN ANAK JALANAN: BUTUH KEPEDULIAN KOLEKTIF



Agussalim

(Focal Point JiKTI Sulsel, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Peneliti P3KM Universitas Hasanuddin)



Teman-temannya sesama anak jalanan sering memanggilnya Adi. Usianya genap 11 tahun Oktober nanti. Badannya ceking, boleh jadi karena kurangnya asupan gizi. Kulitnya gelap akibat sengatan matahari. Ia terpaksa harus turun ke jalan untuk mencari nafkah dan mengais rezeki karena jeratan kemiskinan. Pekerjaan yang kerapkali dilakoninya adalah menyediakan jasa payung bagi pengunjung mall dari dan ke parkiran ketika musim hujan tiba. Ia memperoleh upah seribu rupiah atas jasanya tersebut dan sesekali dua ribu rupiah dari orang yang sedikit dermawan. Baginya, musim hujan adalah berkah. Sesekali ia terpaksa mengemis ketika cuaca lagi cerah. Itu sebabnya, mukanya mudah tersenyum, barangkali sekedar untuk menarik simpati para pemberi derma. Semua aktifitas itu dilakoninya sepulang sekolah dan tentu saja saat liburan sekolah. Saat ini, ia duduk di bangku kelas V di sebuah sekolah dasar di sekitar Toddopuli. Ia terpaksa melakukan semua pekerjaan ini karena kedua orangtuanya tidak sanggup menafkahinya. Ayahnya hanyalah penarik becak dan ibunya tukang cuci harian yang juga sesekali mengemis. Menafkahi Adi bersama lima orang saudaranya tentu bukanlah perkara mudah. Namun di tengah jeratan kemiskinan, Adi masih menyimpan cita-cita untuk menjadi seorang dokter. Akan tetapi kepalanya akan tertunduk lesu ketika ditanya apakah cita-citanya tersebut akan sanggup ia raih kelak. Sebab dalam benaknya, mampu menamatkan sekolah dasar saja sudah merupakan sebuah kemewahan.

Di sudut lain Kota Makassar, Lia tengah berdiri diprapatan lampu merah dengan wajah memelas memohon belas kasihan. Usianya setahun lebih mudah dari Adi. Wajahnya kusam akibat debu jalanan dan asap knalpot kendaraan. Dengan pakaian sekolah yang agak kumal, ia menghampiri setiap pengendara sambil berharap derma uang recehan. Ia tak seberuntung Adi dalam urusan keluarga. Ayahnya pergi meninggalkannya bersama ibunya dan dua orang adiknya yang masih balita. Sebagai anak sulung, Lia terpaksa - atau mungkin dipaksa - untuk mencari nafkah, entah dengan cara apa, agar ia bersama adik-adiknya bisa menyantap mie rebus setiap hari. Sebuah tanggung jawab yang belum pantas untuk diembannya. Ketika ditanya apa cita-citanya, ia hanya menarik kedua ujung bibirnya. Mungkin ia merasa tidak pantas untuk punya cita-cita dan menyimpan asa untuk masa depannya. Baginya, masih bisa tetap duduk di bangku sekolah dasar saja, sudah merupakan sebuah mujizat.

Adi dan Lia hanyalah dua dari ratusan anak yang hidup di sudut-sudut jalan Kota Makassar. Mereka memang bukanlah sepenuhnya potret utuh dari fenomena anak jalanan. Sebab, menurut berbagai sumber, anak jalanan terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan yang berbahaya, mulai dari pengemis, pedagang  asongan, penjaja koran, pengamen jalanan, penyemir sepatu, hingga kurir narkoba. Sebagian dari mereka masih duduk di bangku sekolah, sebagian lainnya sudah tak memakai seragam sekolah lagi. Mereka adalah orang-orang tersisih dari kehidupan metropolis. Mereka berada dalam kasta terendah dalam konsep distribusi pendapatan gini ratio. Mereka, oleh BPS, diidentifikasi sebagai orang-orang miskin dan karenanya harus rela antri untuk memperoleh BLSM. Gemerlap kehidupan kota sama sekali tak mampu mereka cicipi. Kemajuan ekonomi tidak mampu menetes ke kehidupan mereka. Akses mereka untuk menikmati kehidupan yang layak terkunci dengan rapat, hampir tanpa celah. Hidup dijalanan hanyalah pilihan terakhir untuk sekedar bisa bertahan hidup.

Namun cara pandang berbeda juga bisa digunakan untuk menjelaskan eksistensi mereka. Bahwa mereka sesungguhnya simbol dari keuletan, kerja keras, daya juang, kegigihan, semangat untuk bertahan hidup, dan kemampuan untuk menerima segala bentuk hinaan. Kehidupan jalanan yang keras telah menempa mereka untuk bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Mereka selalu punya cara untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka, atau mungkin tepatnya, memanfaatkan setiap peluang untuk sekedar bisa bertahan hidup. Ini bisa dipandang sebagai sebuah kecerdasan alamiah.

Satu-satunya yang patut disyukuri adalah fakta bahwa sebagian besar dari mereka masih bisa tetap bersekolah. Pendidikan, sebagai salah satu hak dasar manusia, masih sanggup menjangkau mereka, meski tidak ada jaminan bahwa pendidikan dengan level yang lebih tinggi akan tetap dapat mereka nikmati. Mereka masih masuk dalam data-base pendidikan gratis, pendidikan bersubsidi, atau apalah namanya. Mereka masih bisa sedikit berbangga karena masih mengenakan seragam dengan lambang osis yang terpasang di dada. Sepertinya, hanya itu kebanggaan yang masih tersisa, dan karena itu, mereka berusaha untuk merawatnya sampai pada batas dimana mereka tidak sanggup lagi mempertahankannya karena derita kemiskinan.

Dalam kondisi seperti itu, eksistensi negara mulai dipersoalkan. Sebab, di dalam konstitusi (baca: UUD 45) disebutkan secara tegas bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sebuah niat suci yang tidak dibarengi dengan tindakan nyata. Negara seringkali lalai dan alpa untuk mengurusi nasib mereka. Keberadaan mereka hanya sesekali dilirik oleh para politisi yang sibuk berebut kekuasaan pada perhelatan pemilu, pilpres, pilkada, dst. Mereka dengan terpaksa menyimak dengan khidmat janji "angin surga" yang dihembuskan ketelinga mereka, karena setelahnya mereka memperoleh balas jasa berupa sebungkus mie instan atau selembar kaus oblong atau sarung lebaran atau sesekali uang pecahan Rp 10.000 sebanyak dua lembar dalam amplop yang bergambar “tokoh politik”. Setelah perhelatan usai, seperti lazimnya, mereka kemudian diabaikan dan dicampakkan. Namun mereka tidak protes, karena mereka sangat yakin bahwa pada perhelatan berikutnya mereka pasti dikunjungi kembali, sambil berharap nilai balas jasa yang sedikit lebih besar.

Mereka adalah sekumpulan orang yang tersisih dari “rasa manis” pembangunan. Mereka adalah sekerumunan orang yang terpinggirkan dari “derai-tawa” kesejahteraan. Oleh karena itu, mereka perlu digeser posisinya ke level yang memungkinkan mereka dtempatkan sebagai “manusia” dalam sebuah perabadan tanpa derita ekstrim kemiskinan. Sebab, kemiskinan, sebagaimana dikatakan oleh Nelson Mandela, adalah buatan manusia, dan karena itu, seharusnya bisa dientaskan oleh tindakan manusia. Memulainya harus dengan kepedulian dari semua orang yang meyakini bahwa kehidupan sosial yang lebih baik hanya dapat terwujud dalam situasi ekonomi yang berlangsung lebih eqaliter. Percayalah, bahwa sumbu utama terjadinya berbagai gejolak sosial adalah masalah ketimpangan, kecemburuan sosial, kemelaratan, ketidakadilan, dan sejenisnya. Saya kira, anda, saya, dan kita semua tidak ingin hidup dalam situasi dimana gejolak sosial terus mewarnai kehidupan keseharian kita dan membuat tidur kita tidak bisa sepenuhnya pulas karena terus terjaga oleh ketakutan, atau mungkin …. perasaan bersalah.