Selasa, 03 Juni 2014

Pembangunan KTI


TANTANGAN DAN AGENDA PEMBANGUNAN 
KAWASAN TIMUR INDONESIA (KTI) KE DEPAN  

Agussalim 
Puslitbang Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin 



1. Ketertinggalan KTI dikontribusi oleh banyak faktor, diantaranya, terbatasnya infrastruktur dasar yang kemudian menghambat arus investasi, rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat buruknya aksesibilitas terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, buruknya konektivitas wilayah yang memicu melambungnya biaya logistik, dan kurangnya pelayanan dasar untuk pemenuhan hak-hak dasar yang berimbas kepada rendahnya kualitas hidup masyarakat. Kebijakan dan politik anggaran pemerintah (pusat) yang masih lebih bias ke KBI, juga dianggap sebagai faktor kunci yang menghambat kemajuan KTI. Institusi lokal dengan kapasitas rendah dan tidak akuntabel juga menyumbang bagi ketertinggalan KTI. Faktor kultural (seperti sikap hidup, budaya, dan lingkungan), meskipun masih bisa diperdebatkan, juga seringkali dianggap sebagai elemen dasar yang berkontribusi terhadap absennya kemakmuran di KTI. 

2. Meskipun terkesan seperti masalah klasik, infrastruktur dasar masih menjadi masalah utama pembangunan KTI. Untuk infrastruktur listrik misalnya, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan listrik (PLN dan Non-PLN) di KTI masih relatif rendah. Dari 12 provinsi di KTI, 11 diantaranya memperlihatkan angka di bawah rata-rata Nasional. Provinsi Papua Barat menunjukkan angka paling rendah, baik di KTI maupun Nasional. Di daerah ini, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan listrik hanya sebesar 41,86 persen. Artinya, setiap 10 rumah tangga di Papua Barat hanya 4 rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik. Gambaran ini sangat kontras dengan Pulau Sumatera (rata-rata 95,2%), Jawa (99,5%) dan Bali (99,2%).  

3. Pengembangan konektivitas wilayah menjadi sebuah keharusan untuk mengakselerasi pembangunan KTI. Konektivitas wilayah dimaksud bukan hanya antara wilayah di KTI tetapi juga antara KTI dengan KBI dan antara KTI dengan dunia internasional. Menjadi terasa sedikit aneh ketika dari Kupang (Nusa Tenggara Timur) menuju ke Lombok (Nusa Tenggara Barat) - dengan menggunakan pesawat udara - harus ke Denpasar terlebih dahulu dengan melintas di atas Lombok. Kita juga dibuat terperangah ketika mengetahui bahwa daerah-daerah pedalaman di Papua harus membeli semen dengan harga 30 – 35 kali lipat dari tingkat harga yang berlaku di Sulawesi. Konektivitas wilayah yang buruk telah memicu melambungnya biaya logistik dan biaya hidup di KTI. 

Selain itu, integrasi pengembangan infrastruktur untuk mendukung konektivitas wilayah juga perlu terus diupayakan. Infrastruktur jalan, pelabuhan laut, bandar udara, dan energi listrik perlu dikembangkan secara terintegrasi dengan pusat-pusat perdagangan, kawasan industri, dan sentra-sentra produksi komoditas unggulan. Fenomena inbalance cargo (volume dan nilai barang yang dibongkar lebih besar dibandingkan dengan yang dimuat) disebagian besar pelabuhan laut di KTI menegaskan rendahnya konektivitas wilayah akibat buruknya jaringan transportasi yang menghubungkan antara pelabuhan laut dengan sentra-sentra produksi. 

4. Tetap penting menjadi catatan bahwa pembangunan infrastruktur antara KBI dan KTI harus dipandang dengan perspektif berbeda. KBI membutuhkan infrastruktur terutama untuk merespon geliat ekonomi. Sedangkan KTI membutuhkan infrastruktur terutama untuk menstimulasi aktivitas ekonomi. Dengan kata lain, kebutuhan infrasruktur di KBI lebih berdimensi “market-driven”, sedangkan KTI lebih berdimensi “affirmative action”. Oleh karena itu, selama cara pandang dan pertimbangan “merespon pasar” yang lebih dikedepankan untuk membangun infrastruktur di KTI, maka hampir bisa dipastikan bahwa infrastruktur KTI tidak akan pernah berkembang kearah yang diharapkan. Rencana proyek pembangunan infrastruktur dalam kerangka Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tampak perspektifnya belum banyak bergeser. 

5. Peningkatan daya saing wilayah yang bertumpu pada inovasi dan dukungan teknologi perlu terus didorong. Daya saing yang bertumpu pada potensi sumberdaya alam tampaknya tidak bisa sepenuhnya menjamin keberlangsungan pembangunan KTI dalam jangka panjang. Strategi semacam ini mudah terjebak pada “dutch disease”, yaitu suatu kondisi dimana booming komoditas (akibat eksploitasi sumberdaya alam) akan menyebabkan aliran modal dari pendapatan komoditas meningkat, dan pada gilirannya akan mengakibatkan permintaan yang lebih tinggi untuk barang yang tidak diperdagangkan seperti jasa (restoran, hotel, dll.) dan konstruksi. Akibatnya, sektor industri kurang berkembang dan pada gilirannya akan menekan pertumbuhan sektor industri. Fakta mengenai rendahnya kontribusi sektor industri terhadap perekonomian KTI maupun kecilnya sumbangan sektor industri KTI terhadap Nasional (sekitar 3,66%) hanya sekedar mengkonfirmasi gejala ini. 

6. Perluasan pelayanan dasar dan pemenuhan hak-hak dasar harus tetap menjadi tema sentral pembangunan KTI saat ini dan di masa depan. Secara umum, kualitas pelayanan dasar di KTI sangat buruk. Di sektor ketahanan pangan, kasus-kasus rawan pangan dan gizi buruk paling sering terdengar di wilayah KTI.  Di sektor pendidikan, anak-anak putus sekolah dan tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi menjadi fenomena yang lazim di KTI. Di sektor kesehatan, kasus kematian bayi dan ibu melahirkan paling sering terjadi karena layanan kesehatan tidak mampu menjangkau mereka akibat terbatasnya sarana prasarana kesehatan dan jaringan transportasi yang buruk. Di sektor perumahan, sanitasi yang layak, air bersih dan listrik, menjadi barang langka bagi sebagian orang-orang KTI. Oleh karena itu, sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar harus tetap menjadi sektor prioritas dalam 5 - 10  yang akan datang. 

Pelayanan dasar juga perlu diarahkan untuk menjangkau lebih banyak penduduk miskin. Sejauh data yang tersedia, lebih dari tiga per empat dari seluruh penduduk miskin di KTI bermukim di wilayah perdesaan dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Beberapa hasil studi terakhir menunjukkan bahwa jembatan keluar dari kemiskinan untuk mereka yang memiliki mata pencaharian di sektor pertanian tampaknya harus berasal dari kombinasi sektor pertanian yang lebih produktif dan pembukaan kesempatan kerja non-pertanian di perdesaan.

7. Perbaikan tata kelola pemerintahan daerah juga penting menjadi arah kebijakan pembangunan KTI di masa depan. Jumlah dana yang dikelola oleh pemerintah daerah terus meningkat, namun tidak paralel dengan peningkatan kinerja hasil (outcome). Mengefisienkan dan mengefektifkan penggunaan anggaran daerah harus menjadi agenda kebijakan di masa depan bagi seluruh tingkatan pemerintahan daerah di KTI. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah daerah perlu terus didorong untuk lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Menyertai upaya tersebut, penataan kelembagaan pemerintah daerah, peningkatan koordinasi antar tingkatan pemerintahan, pengembangan kapasitas dan profesionalisme aparatur, dan perbaikan proses dan mekanisme perizinan, merupakan sejumlah agenda penting di masa depan. 

8. Pada akhirnya, desain kebijakan dan politik anggaran perlu lebih digeser ke arah yang lebih berpihak pada KTI. Sebab disana, ada kesenjangan yang harus dipersempit, ada keterbelakangan yang harus diangkat, ada kemiskinan yang harus dientaskan, ada kebodohan yang harus dikikis, dan seterusnya. Tanpa pemihakan yang jelas terhadap pembangunan KTI, sesungguhnya kita dengan sengaja sedang melanggengkan ketimpangan dan membiarkan keterbelakangan terus berlangsung di KTI.